ISSN : 1978-452X

JURNAL EKOWISATA Memublikasisikan tulisan hasil-hasil penelitian dan pemikiran yang berhubungan kepariwisataan, sekaligus mendorong upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berkelanjutan.

Selasa, 12 April 2011

Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Taman Nasional Bunaken Untuk Pemanfaatan Ekowisata Bahari

Margaretha N. Warokka
Abastract
The tourism business in Indonesia need to change the use of tourism objects and attractions (ODTW) conceptually, a planned, gradual, and environmentally sound. Assessment results ODTW Bunaken National Park indicate the potential of 88.01%. These results point that the increase in potential still needs to be done to maintain competitiveness with other tourist destinations. Tourism planning is important for the development and success of tourism as well as to minimize negative impacts or problems that will arise. The development should apply the concept of ecotourism is a concept of tourism that reflects environmental insight and follow the rules of balance and sustainability and to improve the quality of human relationships, quality of life of local communities and maintaining environmental quality.

PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Pariwisata merupakan salah satu sektor penunjang pembangunan nasional yang mengalami pertumbuhan tercepat dan pesat di dunia. Sepanjang tahun 2008, sektor pariwisata di Indonesia berhasil menyumbang devisa hingga mencapai Rp 70 triliun. Jumlah ini diperoleh dari kedatangan 6,45 juta wisatawan mancanegara yang membelanjakan uangnya hingga 1.178 dollar AS per orang per hari. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pemasaran Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar, menjelang rencana pertemuan tahunan menteri-menteri pariwisata ASEAN, atau ASEAN Tourism Forum (Kompas, 5 Januari 2009). Sebagai sektor penunjang pembangunan nasional, pariwisata berfungsi meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti devisa negara, menumbuhkan banyak peluang ekonomi skala kecil dan menengah, pencipta lapangan kerja, sebagai katalis untuk pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti perikanan, pertanian kehutanan dan manucfacturing, serta dapat meningkatkan upaya menjaga dan memperbaiki lingkungan.
Salah satu sumberdaya wisata yang sangat potensial adalah wilayah pesisir, mempunyai kekayaaan dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentuk alam, struktur historis, adat, budaya dan berbagi sumberdaya yang lain yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan. Hal ini semuanya merupakan karunia dan anugerah Tuhan untuk dapat dikembangkan bagi kesejahteraan manusia. Alam dan sekitarnya dengan berbagai keragaman yang tinggi seperti wilayah pesisir mempunyai nilai atraktif dan turistik wajib dikelola dan dikembangkan bagi kesejahteraan melalui pariwisata bahari. Adapun objek tujuan wisata bahari diantaranya sebagian kawasan Indonesia meliputi Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua dengan taman laut yang mempesona dan aneka ragam biota lautnya, disamping memiliki teluk tenang serta ombak yang dapat digunakan bagi kegiatan olahraga dengan pantai berpasir putih.
Tamana Nasional Bunaken merupakan salah satu kawasan konservasi yang dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata, yang memiliki keindahan dan daya tarik sumberdaya bawah laut. Keindahan terumbu karang dengan berbagai bentuk dan warna serta beraneka macam biota laut yang terdapat di dalamnya, mampu menarik minat wisatawan untuk mengunjungi Pulau Bunaken (Tabel 1). Wisatawan yang berkunjung di Kota Manado, pada umumnya ingin menikmati keindahan panorama bawah laut. Pulau Bunaken mempunyai 20 tempat penyelaman yang kaya akan ikan-ikan tropis dan terumbu karang. Lebih dari 3.000 spesies ikan terdapat dalam kawasan “Segi Tiga Emas” Papua Nugini, Filipina, dan Indonesia. Bunaken secara Biologis dan strategis terletak di “segi tiga” ini, diantaranya terdapat ikan hiu, kura-kura, Mandarin Fish, kuda laut, ikan pari, dan yang terkenal adalah ikan purba Raja Laut (Coleacant). Selain itu juga terdapat terumbu karang baik yang lunak maupun keras dengan membentuk dinding yang terjal, dengan beraneka macam dan warnah karang.
Luas wilayahnya Pulau Bunaken sekitar 887,5 ha. dengan kondisi morfologi sedikit bergelombang, dan merupakan salah satu Taman Laut terindah di dunia. Sebagian besar wilayah pantainya terdiri dari hutan bakau dan pasir putih. Keindahan taman lautnya khusus Pulau Bunaken dapat dilihat pada lokasi titik penyelaman yang disebut dengan Lekuan satu, Lekuan dua, dan Lekuan tiga, Fukui, Mandolin, Tanjung Parigi, Ron's Point, Sachiko Point, Pangalisang, Muka Kampung, dan Bunaken Timur. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan, berupa snorkeling, diving (menyelam), photografi underwater (foto bawah laut), dan bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan panorama bawah laut tapi tidak dapat berenang dapat menikmatinya dengan menggunakan perahu berkaca (katamaran). Jumlah kunjungan wisata yang mengunjungi PULAU BUNAKEN pada tahun 2006 adalah 32.329 wisatawan, tahun 2007 sejumlah 26.455 wisatawan, dan pada pertengahan tahun 2008 adalah 32.819 wisatawan (http://www.antaranews.com).
Permasalahan yang terjadi di Taman Naasional Bunaken saat ini adalah terjadinya degradasi lingkungan, hal ini teridentifiasi dari berkurangnya wilayah tutupan karang serta berkurangnya spesis ikan. Kegiatan wisata yang hanya terpusat pada diving spot tertentu, menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang akibat jumlah kunjungan yang melebihi batas daya dukung lingkungan. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat secara bersamaan juga telah menimbulkan perubahan yang tidak diinginkan pada sumberdaya alam. Dampak negatif tersebut sering muncul sebagai dampak lanjutan dari pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan secara tepat dan benar. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Smith (1992) dalam Gunn (1994). Menurut Smith (1992) dalam Gunn (1994), pencemaran pantai, erosi dan kerusakan pantai, gangguan budaya, dan dominasi wisatawan pada areal pantai adalah beberapa perubahan yang terjadi pada pengembangan pariwisata di pantai tropis yang tidak terencana.
Pariwisata sebagai industri harus benar-benar mempunyai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik, sehingga dampak negatif dari pariwisata dapat ditoleransi (Mangkudilaga, 2000). Menurut Inskeep (1991), perencanaan pariwisata (planning for tourism) adalah penting untuk perkembangan dan keberhasilan pariwisata serta dapat meminimalisasi dampak negatif atau problem yang akan muncul. Kenyataan tersebut merupakan satu tantangan yang dihadapi para stakeholder yang berkeinginan untuk mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan. Pengembangan hendaknya menerapkan konsep ekowisata yaitu suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian dan dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan.
Pengelolaan kawasan wisata Pulau Bunaken perlu dilakukan dengan mengacu pada konsep ekowisata untuk menjaga kelestarian lingkungan, sehingga pariwisata dapat terlaksana secara berkelanjutan. Adapun yang menjadi syarat penerapan konsep ekowisata meliputi: (1) pemanfaatan dan pelestarian lingkungan, (2) kontribusi ekonomi, (3) aspek pembelajaran, (4) melibatkan masyarakat lokal, dan (5) dampak negatif minimum (Sekartjakrarini dan Legoh, 2004). Konsep ekowisata merupakan suatu konsep yang dapat menghubungkan antara pelaku industri pariwisata dan para pemerhati lingkungan. Untuk meningkatkan daya saing, World Travel and Tourism Council (2004) dalam Kasali (2004) menyatakan bahwa palaku usaha pariwisata di Indonesia perlu mengubah pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata (ODTW) secara konseptual, terencana, bertahap, dan berwawasan lingkungan.
Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk melakukan penilaian ADTW wisata bahari di Pulau Bunaken .


PEMBAHASAN
Taman Nasional Bunakaen yang merupakan andalan pariwisata Provinsi Sulawesi Utara yang telah dikenal dunia, dan merupakan peringkat ke-dua dunia yang terkenal akan keindahan panorama bawah lautnya. Pulau Bunaken memiliki keindahan alam panorama bawah laut yang telah dikenal dunia, sehingga wisatawan yang berkunjung ke Kota Manado, pada umumnya ingin menikmati keindahan panorama bawah lautnya. Bunaken mempunyai paling sedikit 17 titik penyelaman yang kaya akan ikan - ikan tropis dan terumbu karang. Lebih dari 2.000 spesies ikan terdapat dalam kawasan “Segi Tiga Emas” Papua Nugini, Filipina, dan Indonesia. Bunaken secara Biologis dan strategis terletak di “segi tiga” ini dan memiliki di antaranya Ikan Hiu, Kura-kura, Mandarin Fish, Kuda Laut, Ikan Pari, dan yang terkenal adalah Ikan Purba Raja Laut. Selain itu juga terdapat terumbu karang baik yang lunak maupun keras dengan membentuk dinding yang terjal, dengan beraneka macam dan warnah karang.
Sebagian besar wilayah pantainya terdiri dari hutan bakau dan pasir putih. Keindahan taman lautnya dapat dilihat antara lain pada lokasi titik penyelaman yang disebut dengan Lekuan satu, dua, dan tiga, Fukui, Mandolin,Tanjung Parigi, Ron's Point, Sachiko Point, Pangalisang, Muka Kampung, dan Bunaken Timur. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan, berupa snorkling, diving (menyelam), photografi underwater (foto bawah laut), dan bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan panorama bawah laut tapi tidak dapat berenang dapat menikmatinya dengan menggunakan perahu berkaca (katamaran). Hasil penilaian potensi ODTW (PHKA Departemen Kehutanan, 2002)Pulau Bunaken dapat dilihat pada Tabel 1.



Tabel 1 Hasil penilaian potensi ODTW kawasan PULAU BUNAKEN (Obyek wisata laut)

Potensi Kriteria Total Nilai¹ Nilai²
(N x b) Indeks³ (%) Kelompok
SDA Obyek wisata laut 1440 1380 95.83 Daya tarik
Sosbud dan ekonomi Kondisi lingkungan sosek 1350 1100 81.48 Partisipasi masyarakat
Pelayanan masyarakat 60 40 66.66
Kadar hubungan atau Aksesibilitas 725 600 82.75 Sarana dan prasarana penunjang
Akomodasi (radius 15 km dari obyek) 90 90 100
Prasarana dan sarana penunjang (radius 20 km dari obyek) 120 120 100
Tersedianya air bersih 600 480 80
Hubungan obyek dengan obyek wisata lain 450 430 95.55 Paket Wisata
Kondisi iklim 600 540 90
Keamanan 30 30 100
Total 5465 4810 88.01
1 total nilai setiap obyek dan daya tarik wisata alam yang dinilai
2 hasil penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata alam
3 indeks hasil penilaian potensi terhadap total nilai yang dinyatakan dalam presentase
N: pilihan nilai setiap unsur dalam kriteria penilaian potensi
b: bobot dari setiap kriteria penilaian potensi

Kadar Hubungan Aksesbilitas
Waktu tempuh ke obyek dari pusat kota tergantung besar pk dan kondisi ombak, bila menggunakan perahu motor menuju Pulau Siladen dapat ditempuh dalam waktu ± 20 menit, Pulau Bunaken ±30 menit. Untuk mencapai lokasi dapat melalui Pelabuhan Manado, Marina Nusantara Diving Center (NDC) di Kecamatan Molas dan Marina Blue Banter Marina. Dari Blue Banter Marina dengan menggunakan kapal pesiar yang tersedia menuju daerah wisata Pulau Bunaken dapat ditempuh dalam waktu 10-15 menit, sedangkan bagi wisatawan yang mengambil alternatif dari Pelabuhan NDC menuju lokasi penyelaman di Pulau Bunaken dengan menggunakan speed boat ditempuh dalam waktu ± 20 menit.













Gambar 12 a. Perahu katamaran dan b. jenis transportasi laut
Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi
Kondisi lingkungan soaial ekonomi yang dinilai adalah tata ruang wilayah, status lahan, tingkat pengangguran, mata pencaharian penduduk, ruang gerak pengunjung, pendidikan, tingkat kesuburan tanah, sumberdaya mineral dan persepsi masyarakat terhadap pengembangan obyek wisata alam. Hasil penilaian 81,48% dipengaruhi oleh tata ruang wilayah telah diatur dengan dibuatnya zona masyarakat zona pemanfaatan dan zona inti, dan status lahan dikelolah oleh pemerintah sedangkan persepsi masyarakat sangat mendukung untuk pengembangan obyek wisata alam di daerah ini. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani dan nelayan. Dengan ditetapkannya daerah ini sebagai obyek wisata memberikan dampak positif kepada masyarakat, melaui pemanfaatan industri-industri kerajinan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat setempat.










Gambar 13 Hasil kerajinan masyarakat


Akomodasi, Prasarana dan Sarana Penunjang
Akomodasi untuk kawasan Pulau Bunaken mencapai angka nilai tetinggi 100%, ditunjang dengan ketersediaan sarana akomodasi dengan jumlah kamar >100. Prasarana dan sarana penunjang memiliki nilai 100% dipengaruhi letak obyek wisata dengan pusat kota hanya berjarak 3 mill atau dibawah radius 20 km, sehingga untuk mencapai prasarana dan sarana penunjang adalah mudah.








Gambar 14 Sarana akomodasi Pulau Bunaken
Pelayanan Masyarakat
Masyarakat dalam melayani wisatawan sangat ramah, hanya saja yang menjadi kendala adalah kemampuan berbahasa (66,66%). Masyarakat pada umumnya hanya menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang menyebabkan kesulitan untuk berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Peran pemandu disini sangat dibutuhkan karena pemandu yang akan mengubungkan wisatawan mancanegara dengan masyarakat lokal.
Kondisi Iklim
Memiliki kondisi iklim dengan suhu udara rata-rata pada siang hari 29,400C - 32,200C sedangkan pada malam hari berkisar antara 29,400C - 23,200C, jumlah bulan kering 8 bulan rata-rata pertahun, kelembaban udara 75% dan kecepatan angin rata-rata berkisaran antara 130 knot/jam. Hasil evaluasi (nilai indeks 90%) menunjukan kondisi iklim baik, sehingga tidak ada pengaruh iklim terhadap waktu kunjungan dan dapat dilakukan secara konstan setiap tahunnya. Khusus bulan Nopember sampai Januari banyak terjadi angin barat hingga barat laut sehingga kecepatan angin meningkat hingga mencapai 60-70%, akan tetapi hal ini tidak terlalu mengkuatirkan.
Persediaan Air Bersih
Air yang tersedia dilokasi adalah mata air dengan jarak 0-3 km dari titik obyek wisata. Kontinuitasnya tersedia sepanjang tahun, sehingga tidak akan mempengaruh persediaan air bersih pada obyek wisata. Ketersediaan air bersih sangat berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata, dimanan kebersihan dan kenyamanan akan terjaga jika memiliki sumber air bersih yang memadai.
Keamanan dan Hubungan Obyek dengan Obyek Wisata Lain
Keamana kawasan PULAU BUNAKEN adalah baik karena tidak ada arus berbahaya, tidak ada binatang pengganggu ataupun kepercayaan yang mengganggu sehingga nilai keaman mencapai 100%. Kadar hubungan obyek dengan obyek wisata lain memiliki nilai indeks 95,55%, dipengaruhi adanya kesamaan obyek wisata bentuk darat (Gunung Tumpa) dan obyek wisata pantai (Pantai Malalayang). Kesamaan obyek wisata memberi pengaruh positif terhadap lingkungan PULAU BUNAKEN, karena dengan demikian pusat kunjangan wisata tidak hanya terpusat pada PULAU BUNAKEN saja sehingga kelestarian lingkungan dan pariwisata yang berkelanjutan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Komunikasi dan Informatika. 2005. Pengembangan Ekowisata Bahari. Swamedia Informatika. http:/www.lin.go.id/news.asp?kode=290402MzYT0002. 27 September 2006.
Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2002. Kriteria Standar Penilaian ODTW (Analisis Daerah Operasi). Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.
Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher.
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning : An Integrated and Sustainable Development Approach Van Nosttrand Reinhold, New York, U.S.A.
Mangkudilaga, S. 2000. Peran Serta Pariwisata Pengentasan Kemiskinan. Lingkungan Manejemen Ilmiah Volume 2, No. 7:9-16.
http://www.antaranews.com
Kompas, 5 Januari 2009.

Metodologi Kajian Sumberdaya Mangrove untuk Tujuan Ekoturisme

Tommy M. Kontu
(Politeknik Negeri Manado)


Abstract
As one of the coastal area ecosystems, mangrove represents unique ecosystem but gristle. This ecosystem has economic and ecological function. It earn also developed as ecotourism area. But that way, need circumstantial study about existing resources, so that it can awake its continuity. In its relation with development of ecotourism, hence there are three especial aspects which needed to study in mangrove ecosystem: physical, biology, and social condition. Physical aspect cover wide of area, type of substrate, and ebb pattern. Biology aspect cover vegetation and biota-associated. While, social aspect concerning situation of society around area. Primary data collected direct on the field through Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing, Observation, Survey, Sampling, Identify of Type, Unquote, and Interview techniques. Secondary Data obtained to through Literature research.

Kata kunci: mangrove, metodologi



Pendahuluan
Sejak menanjaknya tren ekowisata dalam perkembangan industri pariwisata dunia, sejak itu pula, sumberdaya alam dieksplorasi untuk mencari dan menemukan objek-objek ekowisata baru. Termasuk sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, berusaha dikembangkan untuk dijadikan kawasan atau objek ekowisata. Sebab diyakini bahwa sumberdaya pesisir dan laut sangat berpotensi dikembangkan sebagai objek ekowisata.
Eksplorasi sumberdaya pesisir dan laut untuk tujuan ekowisata, bertumpu pada pendekatan spesies, fisik, dan ekosistem. Pendekatan spesies artinya spesies-spesies eksklusif (langka, eksotik, endemik) dikemas sebagai objek ekowisata. Industri pariwisata mengolah keberadaan spesies-spesies endemik tersebut, menjadi produk wisata yang ditawarkan ke pasaran. Pendekatan fisik artinya kondisi fisik suatu kawasan pesisir dan laut yang dikemas sebagai objek wisata. Sedangkan pendekatan ekosistem artinya keberadaan ekosistem yang ditawarkan sebagai objek wisata.
Di pesisir wilayah tropis, dikenal ada tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove. Dengan pendekatan ekosistem, maka tiga ekosistem itulah yang selama ini dikembangkan sebagai kawasan-kawasan ekowisata. Kegiatan ekowisata di ekosistem terumbu karang telah berkembang sangat pesat. Banyak areal terumbu karang yang dikembangkan sebagai objek penyelaman atau dikenal sebagai wisata bawah-laut. Dan kegiatan wisata bawah-laut di terumbu karang masih menjadi tumpuan utama kegiatan ekowisata di wilayah pesisir dan laut. Ketika orang berbicara tentang wisata laut, pasti yang pertama dipikirkan adalah wisata diving, snorkling, atau wisata bawah-laut di areal terumbu karang.
Karena itu pula, tekanan terhadap ekosistem terumbu karang, dari hari ke hari, semakin meningkat. Meningkatnya aktivitas di kawasan terumbu karang, akibat tingginya kunjungan wisata ke areal tersebut, menyebabkan tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat pula. dalam Banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa tingginya aktivitas wisata di areal terumbu karang menyebabkan daya dukung kawasan tersebut menurun drastis. Sehingga esensi ekowisata sebagai perjalanan wisata yang benar-benar bertanggung jawab terhadap alam (Ceballos-Lascurain, 1996), dalam banyak hal menjadi kabur. Akibatnya, situasi seperti itu menjadi hubungan sebab-akibat yang saling merugikan. Aktivitas yang meningkat menyebabkan meningkatnya tekanan. Meningkatnya tekanan menyebabkan daya dukung menurun. Daya dukung menurun menyebabkan nilai kawasan menurun pula. Nilai kawasan yang menurun berdampak pada ‘nilai jual’ sebagai kawasan ekowisata.
Mencermati perkembangan tersebut, beberapa ahli menyarankan agar dilakukan penyebaran objek-objek tujuan wisata di kawasan pesisir tersebut. Kegiatan wisata hendaknya juga diarahkan ke ekosistem-ekosistem lain, diantaranya adalah ekosistem mangrove. Dengan demikian, tekanan terhadap terumbu karang dapat berkurang, sehingga ekosistem tersebut dapat melakukan recovery. Di samping itu, potensi sumberdaya di ekosistem lain, misalnya di mangrove, dapat berkembang dan dimanfaatkan dengan maksimal.

Ekosistem Mangrove dan Sumberdaya di Dalamnya
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik tapi rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan (Rochana, 2008).

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian, mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan, dan pada kondisi yang sesuai, mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum. Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1992). Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1992).
Secara lebih luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. (1983) dalam Anonim; buku elektronik (2008) mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :
1. Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove
2. Non-exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja
3. Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove
4. Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove.
Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.
Bentuk vegetasi dan komunitas mangrove terdiri dari 3 zone mangrove berdasarkan distribusi, karakteristik biologi, kadar garam dan intensitas penggenangan lahan yaitu vegetasi inti, marginal, dan fakultatif marginal.
Vegetasi Inti
Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora mangle. L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan Planchon (pelliceriaceae), Avicennia germinans L (Avicenniaceae) dan Laguncularia racemosa L. gaertn. (Combretaceae).
Vegetasi marginal
Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Jenis Conocarpus erecta (combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (triana), Duke (leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di semenanjung de osa, dimana mangrove ini berkembang dalam rawa musiman salin (25 promil). Jenis yang lain adalah Annona glabra L. (Annonaceae), Pterocarpus officinalis jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia spicata killip (Malvaceae). Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L. (Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zone air payau dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.
Vegetasi fakultatif marginal
Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana pengaruh iklim khatulistiwa semakin terasa, banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa. Jenis ini banyak digunakan untuk pembangunan oleh manusia.
Berdasarkan geomorfologi, maka hutan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut ( Anonim; buku elektronik, 2008):
Overwash mangrove forest
Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 m.
Fringe mangrove forest
Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 m.
Riverine mangrove forest
Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya rata- rata dapat mencapai 18-20 m.
Basin mangrove forest
Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai. Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 m.
Hammock forest
Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya jarang lebih dari 5 m.
Scrub or dwarf forest
Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas.

Metodologi Kajian Sumberdaya
Data dan Sumber Data
Dalam hubungannya dengan pengembangan ekoturisme, maka ada tiga aspek utama yang diperlukan untuk mengkaji sumberdaya di ekosistem mangrove. Tiga aspek utama tersebut adalah kondisi fisik, kondisi biologi, dan kondisi sosial. Kondisi fisik meliputi luas kawasan, jenis substrat, dan pola pasang surut. Kondisi biologi meliputi vegetasi dan biota berasosiasi. Sedangkan kondisi sosial menyangkut keadaan masyarakat sekitar kawasan dan pemanfaatan.
Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pengumpulan data yang dapat diterapkan, maka data-data dalam kajian sumberdaya mangrove dapat dibedakan atas data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung di lapangan melalui teknik-teknik Geografic Information System (GIS) dan Penginderaan Jauh (Inderaja), Observasi, Survei Lapangan, Pengambilan Sampel, Identifikasi Jenis, Angket, dan Wawancara. Data sekunder adalah data-data yang diperoleh melalui Penelusuran Literatur.
Keadaan sebenarnya di lapangan menjadi sumber utama pengumpulan data. Namun, sumber data dapat juga berupa institusi, misalnya lembaga, badan, atau kantor. Tabel 1 memperlihatkan contoh penentuan Jenis Data yang hendak diamati, dan Sumber Data yang dapat digunakan (band. Anonim, 2008):
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data
No. Jenis Data Sumber Keterangan
1. Citra Satelit Landsat Lapan Citra Satelit landsat 7 ETM+ dalam format digital liputan 2 tahun terakhir
2. Peta Dasar dan Peta Rupa Bumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 dalam format digital
3. Peta Tematik Departemen Kehutanan Vegetasi dan Zonasi, Pemanfaatan kawasan
4. Data Vegetasi dan Kondisi Biologi Lainnya Pemeriksanan Lapangan dengan intensitas sampling 0,3% Jenis mangrove dan biota-biota
5. Data Kondisi Sosial Lapangan, BPS, Kantor Desa Data Kependudukan, Ekonomi, dan Pemanfaatan Mangrove

Analisis Data
Cara menganalisis data, haruslah menggunakan metode-metode yang valid dan reliabel. Pada penelitian-penelitian tentang mangrove, terdapat beberapa metode analisis data yang sudah baku. Karena itu, dalam kajian sumberdaya mangrove untuk tujuan ekoturisme, tetap harus menggunakan metode-metode analisis yang baku tersebut. Tabel 2 menyajikan beberapa metode analisis data yang dapat digunakan.
Tabel 2. Metode Analisis Data
No. Data Metode Pengumpulan Metode Analisis
1. Kondisi Fisik GIS dan Inderaja
Observasi dan Survei Lapangan Interpretasi Image (Image Proccesing)
2. Kondisi Biologi Pengambilan Sampel
Identifikasi Jenis NDVI ( Normalized Difference Vegetation
Index)
Kerapatan
Kerapatan relatif
Frekuensi
Frekuensi relatif
Dominasi
Dominasi relatif
Indeks Nilai Penting
3. Kondisi Sosial Wawancara
Penelusuran Literatur
Observasi Scoring
SWOT

Penarikan Kesimpulan
Penting untuk diingat bahwa dalam hal ini, tujuan melakukan kajian terhadap sumberdaya mangrove adalah untuk menemukan kawasan-kawasan ekowisata baru. Karena itu, interpretasi data yang diperlukan ialah untuk dapat menarik kesimpulan tentang :
1) apakah ekosistem mangrove tersebut layak dikembangkan sebagai kawasan ekowisata,
2) sumberdaya apa yang dapat dijadikan ’maskot’ pengembangan sebagai kawasan ekowisata,
3) apa manfaat bagi keberlanjutan ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat setempat,
4) bagaimana pola dan peta pemanfaatan kawasan mangrove tersebut, bila hendak dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.


Penutup
Karena ekowisata bertumpu sepenuhnya pada keberadaan dan keberlanjutan suatu ekosistem, maka semua interpretasi data dalam menarik kesimpulan, haruslah diarahkan pada pertanyaan paling mendasar: ’apakah ekosistem mangrove akan tetap berlanjut, jika ekosistem itu dijadikan kawasan ekotourism”. Bila jawabannya: ”ya”, maka rekomendasi penelitian yang dapat diberikan adalah ’ekosistem mangrove tersebut sebaiknya dikembangkan sebagai kawasan ekowisata baru’.
Selanjutnya, tahap terpenting dari pemanfaatan mangrove sebagai kawasan ekowisata ialah penerapan dengan sungguh-sungguh semua hasil kajian sumberdaya. Misalnya saja, bila suatu titik direkomendasikan sebagai lokasi pengamatan saja, maka pada prakteknya haruslah ditetapkan dengan sungguh-sungguh bahwa kegiatan wisata yang dibolehkan di titik tersebut hanyalah pengamatan saja. Penerapan yang sungguh-sungguh kegiatan-kegiatan wisata yang diperkenankan, yang didasarkan pada hasil kajian sumberdaya, akan sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem tersebut.




Daftar Pustaka

Anonim, 2008. Ekologi Laut Tropis. Buku elektronik.
Anonim, 2008. Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Ceballos-Lascurain, H., 1996. Tourism, Ecotourism, and Protected Area. Gland, Switzerland:IUCN.
Kodhyat, H. 1998. Sejarah lahirnya Ekowisata di Indonesia. Makalah Workshop dan Pelatihan Ekowisata di Bali. Lembaga Studi Pariwisata Indonesia
Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rochana, E., 2008. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. Tulisan elektronik: www.irwantoshut.com

Analisis Pengembangan Obyek Wisata Pantai Malalayang Manado

Oktavianus Lintong
(Politeknik Negeri Manado)



Abstract
In principle, the use of coastal zone must be done with matured planning, covering economic and ecology aspect. Hence, this research aims to analyze developmental tourism in around of coastal of Malalayang Manado. Data collected with Documentation and Observation method. And then, those are analyzed by SWOT Analysis Method. This research recommend, government require to arrange coastal tourism of Malalayang, fixed maintaining it as coastal tourism area which have the character of open access, but arranging and controlling its exploiting. According of Economics-Resources perspective, coastal management of Malalayang as object of tourism better is arranged as state-property rights.

Kata kunci: Analisis, Objek wisata, Malalayang



Pendahuluan
Salah satu karakteristik kota pantai ialah adanya kompleksitas pemanfaatan ruang pantai. Ruang pantai dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan tujuan. Awalnya dimanfaatkan untuk pemukiman, terutama oleh komunitas yang sebagian besar aktivitasnya berhubungan dengan laut. Dimana-mana, suatu komunitas mencari tempat bermukim yang dekat dengan aktivitas sehari-harinya. Begitu pula dengan komunitas yang sehari-hari beraktivitas di laut dan pesisir, misalnya nelayan atau petambak. Mereka pasti akan bermukim di dekat laut dan pesisir, sehingga termanfaatkanlah ruang pantai sebagai tempat pemukiman. Namun kemudian, sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang keragaman sumberdaya yang dimiliki laut dan pesisir, maka ruang pantai mulai dimanfaatkan untuk keperluan dan tujuan lain, selain untuk pemukiman. Ketika pesisir dan laut dipandang sebagai sumberdaya ekonomi yang potensial, saat itu pula ruang pesisir dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur yang mampu menunjang eksploitasi sumberdaya ekonomi yang dimiliki laut dan pesisir. Karena itulah, dibangun pelabuhan, pusat belanja, dermaga perikanan, obyek-obyek wisata, dan infrastruktur lainnya di ruang pantai.
Namun demikian, seringkali pemanfaatan ruang pantai tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang. Pemanfaatan ruang untuk tujuan eksploitasi sumberdaya ekonomi, tidak dilengkapi dengan perencanaan untuk mempertahankan sumberdaya alam. Akibatnya, pemanfaatan ruang pantai acapkali menimbulkan konflik pemanfaatan. Gunawan (2004) mengungkapkan bahwa pemanfaatan ruang pantai hanya berdasarkan kepentingan saja. Hal ini tercermin dari pola pemanfaatan yang berbeda-beda, menyebabkan wilayah tersebut rentan konflik. Bersamaan dengan itu, karena peningkatan populasi dan laju pemanfaatan, sumberdaya pesisir mengalami degradasi hingga mencapai kondisi yang tidak memungkinkan bagi sumberdaya alam pesisir untuk memulihkan kondisinya secara alami. Bila dibiarkan, sumberdaya pesisir sebagai penunjang kehidupan manusia, tidak dapat bertahan ketersediannya.
Mencermati persoalan tersebut, maka pemanfaatan ruang pantai harus dilakukan dengan perencanaan matang, meliputi aspek ekonomi dan ekologi. Memang benar bahwa sumberdaya ekonomi yang dimiliki pesisir dan laut harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi pemanfaatan tersebut haruslah dengan cara dan teknik yang mampu mempertahankan sumberdaya alam yang dikandungnya. Dengan demikian, usaha eksploitasi terhadap suatu sumberdaya, tidak serta-merta mematikan sumberdaya yang lain.
Melakukan analisis terhadap pengembangan suatu kegiatan di ruang pantai adalah salah satu cara melakukan perencanaan matang terhadap pemanfaatan ruang tersebut. Dengan analisis, dapat diketahui sejauh mana keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh, akan sebanding dengan manfaat ekologi yang hendak diterima suatu ekosistem. Analisis dilakukan dengan prinsip bahwa sebesar-besarnya keuntungan ekonomi tidak akan sebanding dengan sekecil-kecilnya kerusakan ekologi. Sebab, keuntungan ekonomi terbesar dari suatu pemanfaatan ruang pantai adalah bagaimana membuat suatu kegiatan memberi dampak sekecil-kecilnya terhadap sumberdaya alam yang tersedia di pesisir dan laut. Dengan kata lain, pemanfaatan terbaik adalah mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat sustainable development.
Karena itulah, penelitian ini bertujuan melakukan analisis terhadap pengembangan obyek wisata pantai di Malalayang Manado. Analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang dapat diterima masyarakat dengan adanya pengembangan obyek wisata tersebut. Di samping itu, untuk mendapatkan gambaran sejauh mana pengaruh pengembangan terhadap pemanfaatan ruang pantai, khususnya sumberdaya alam yang ada di dalamnya, mengingat ruang pantai di Malalayang masih bersifat open access.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk perencanaan dan pengembangan wisata pantai di kota Manado, khususnya wisata pantai yang sifatnya murah dan masal. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran untuk penataan ruang kawasan pesisir kota Manado, sehingga pemanfaatan ruang pantai tidak menimbulkan konflik.


Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di pantai Malalayang, tepatnya di areal yang disebut Kiaeng-Kolongan. Lokasi tersebut adalah pantai yang menyusur mulai dari depan terminal Malalayang sampai di batas kota Manado. (Gambar 1)









Metode Pengumpulan Data
Data-data dikumpulkan dengan metode Dokumentasi dan Observasi. Pengumpulan data dilakukan selama 6 bulan (Januari – Juni 2008). Data-data yang dikumpulkan, kemudian diolah menjadi tampilan Hasil Penelitian dalam 16 variabel data (Jumlah Pengunjung, Biaya Dikeluarkan Pengunjung, Jumlah Penjual, Pendapatan Penjual, Keamanan, Kenyamanan, Keindahan, Kebersihan, Atraksi Wisata, Kondisi Pantai, Keberadaan Terumbu Karang, Keberadaan Lamun, Keberadaan Mangrove, Biota Atraktif, Rencana Pemerintah, dan Persepsi Masyarakat.
Analisis Data
Data-data dianalisis dengan metode analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan obyek. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2006).

Hasil dan Pembahasan
Hasil pengolahan data, dan analisis SWOT terhadap data-data tersebut, ditampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Data dan Analisis SWOT Hasil Penelitian
Variabel Data Hasil Analisis
Strengths (S) Weakness (W) Oppotunities (O) Treaths (T)
Jumlah pengunjung / minggu (orang) 1652 √
Biaya dikeluarkan pengunjung / orang (Rp) 9000 √
Jumlah penjual (kelompok) 68 √
Pendapatan penjual / minggu (ribu rupiah) 300 √
Keamanan baik √
Kenyamanan sedang √ √
Keindahan kurang √
Kebersihan sedang √
Atraksi wisata tak ada √ √
Kondisi pantai berbatu √
Keberadaan terumbu karang tak ada √
Keberadaan lamun tak ada √
Keberadaan mangrove tak ada √
Biota atraktif tak ada √
Rencana pemerintah ada √ √
Persepsi masyarakat sedang √ √

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1, nyata bahwa obyek wisata pantai Malalayang semata-mata sebagai tempat istirahat, bermain, mandi, dan bersantai saja. Tidak ada minat khusus yang dapat ditawarkan obyek wisata tersebut, sebab tidak ada ekosistem penting dan biota atraktif yang dapat ditawarkan sebagai atraksi wisata minat khusus. Obyek wisata pantai Malalayang tidak menyuguhkan keindahan bawah laut, sehingga pengunjung tidak dapat ditawarkan untuk melakukan diving dan snorkling. Tidak ada pula fishing ground, sehingga tidak dapat dikembangkan wisata memancing di obyek tersebut. Poin-poin tersebut diidentifikasikan sebagai kelemahan obyek wisata pantai Malalayang. Ditambah lagi dengan tidak adanya atraksi wisata yang ditampilkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat sekitar obyek hanya memanfaatkannya sebagai lokasi berjualan, dengan menawarkan bahan-bahan makanan dan minuman ke pengunjung.
Namun demikian, pengunjung obyek wisata ini relatif banyak. Dalam rentang waktu penelitian, berhasil dihitung jumlah rata-rata pengunjung dalam seminggu yaitu sebanyak 1652 orang. Namun demikian, jumlah ini dianggap paling minimal, sebab dihitung secara sederhana dengan mencacah pengunjung yang ada di sepanjang pantai. Cara ini dilakukan karena tidak ada sistem penarikan karcis pengunjung di tempat tersebut. Kunjungan terbanyak biasanya pada hari Sabtu, Minggu, dan hari-hari libur. Rata-rata sebanyak 590 orang. Sedangkan pada hari-hari lainnya, jumlah pengunjung dapat mencapai 100 orang. Fakta tersebut dapat dianggap sebagai peluang pengembangan obyek wisata ini.
Mengapa obyak wisata pantai Malalayang banyak dikunjungi? Padahal, tidak ada ekosistem dan biota atraktif di obyek tersebut. Sepanjang pantai terdiri atas bebatuan, bahkan di zona subtidal didominasi pasir yang miskin biota. Tidak ada biota yang dapat menjadi ciri khas obyek. Lebih dari itu, teridentifikasi bahwa kebersihan dan keindahan obyek belum diperhatikan sepenuhnya, baik oleh pengunjung maupun penjual di obyek tersebut. Apalagi tidak ada pihak yang dapat dianggap sebagai pengelola yang jelas dan berkekuatan hukum. Kenyamanan obyek dan sekitarnya juga masih dianggap sebagai faktor kelemahan, bahkan ancaman terhadap pengembangan obyek. Pada hari-hari padat pengunjung, lalu lintas sepanjang jalur obyek wisata menjadi macet. Belum ada penantaan parkir yang baik, dan dalam beberapa kali pengamatan, kondisi tersebut rawan menimbulkan kecelakaan. Tetapi, faktor-faktor tersebut tidak mengurangi minat orang untuk berkunjung. Ternyata, satu-satunya alasan minat pengunjung ialah obyek tersebut murah dan mudah dijangkau. Rata-rata pengunjung hanya mengeluarkan sembilan ribu rupiah saja, untuk dapat menjangkau dan menikmati obyek wisata. Obyek wisata murah masih menjadi pilihan banyak wisatawan. Hal ini dapat dipahami, karena pengunjung di obyek wisata pantai Malalayang dapat dikatakan semuanya adalah wisatawan lokal, yang tidak mementingkan special interest, tapi semata-mata mencari kegiatan lain di luar rutinitas, tanpa harus membebani keuangan mereka. Karena itu mereka cenderung mencari obyek wisata yang murah tapi ramai pengunjung. Karakter ini berbeda dengan kebanyakan wisatawan mancanegara, yang lebih mementingkan wisata minat khusus, meskipun harus mengeluarkan biaya yang banyak.
Keberadaan penjual di lokasi wisata dapat dianggap sebagai kekuatan sekaligus peluang pengembangan. Obyek wisata dapat menjadi tempat mencari nafkah bagi masyarakat. Dengan demikian, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar obyek wisata. Dalam kondisi sekarang yang penuh dengan keterbatasan pun, para penjual rata-rata dapat mengambil keuntungan sebanyak tiga ratus ribu rupiah setiap minggu. Apalagi jika obyek ini dikembangkan secara optimal, dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, pasti masyarakat sekitar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar lagi.
Faktor lain yang dapat diidentifikasi sebagai peluang pengembangan ialah rencana pemerintah kota dan persepsi masyarakat. Dari hasil studi dokumentasi, ditemukan bahwa ada rencana pemerintah kota Manado untuk menata kawasan pantai Malalayang (termasuk lokasi penelitian) menjadi kawasan wisata pantai. Mungkin karena ada rencana itulah, berdasarkan pengamatan di lapangan, di depan pantai Malalayang ditempatkan papan petunjuk yang bertuliskan ”Lokasi Wisata Pantai Malalayang”. Papan petunjuk tersebut dipasang oleh pemerintah kota. Bila rencana tersebut direalisasikan untuk tujuan penataan dan peningkatan infrastruktur kawasan, maka rencana tersebut menjadi faktor peluang pengembangan. Sebab, setidaknya, dengan adanya penataan dan peningkatan infrastruktur, faktor kebersihan, kenyamanan, dan keindahan, yang sebelumnya merupakan kelemahan obyek wisata ini, akan berubah menjadi kekuatan yang dapat meningkatkan kapasitas sebagai obyek wisata yang layak dijual. Pada akhirnya, masyarakat sekitar menerima manfaat dari rencana pemerintah tersebut. Sebab itu pula, persepsi masyarakat menjadi positif terhadap rencana pengembangan wisata pantai yang hendak dilakukan pemerintah di kawasan Malalayang.
Namun bila rencana pengembangan berarti pemberian hak penuh kepada sekelompok orang atau badan untuk mengelola kawasan, maka rencana pemerintah dapat diidentifikasikan sebagai ancaman pengembangan. Sebab satu-satunya kekuatan obyek wisata pantai Malalayang adalah karena obyek tersebut murah dan mudah dijangkau. Setidaknya karena obyek tersebut masih bersifat open access, dan mungkin hanya satu-satunya yang masih tersisa di kota Manado. Karena itu, bila akhirnya pengelolaan kawasan diberikan hak penuh pada perorangan atau badan, maka sifat open access menjadi hilang, dan karena itu rencana pemerintah justru menjadi persepsi negatif bagi masyarakat. Sosialisasi yang kurang memadai, dan informasi yang simpang siur mengenai rencana pengembangan oleh pemerintah, membentuk pendapat sebagian besar penjual (masyarakat pengguna obyek), bahwa penataan kawasan tidak lebih sebagai penggusuran dan penghilangan hak-hak mencari nafkah di obyek wisata.


Simpulan dan Saran
Simpulan
1. Pengunjung obyek wisata pantai Malalayang relatif banyak, karena obyek tersebut satu-satunya kawasan wisata pantai yang murah dan mudah dijangkau di kota Manado.
2. Banyak masyarakat sekitar yang mandapatkan manfaat dari keberadaan obyek wisata pantai Malalayang.
3. Kenyamanan, keindahan, kebersihan, dan atraksi wisata, di obyek wisata pantai Malalayang masih perlu ditingkatkan.
4. Rencana pemerintah untuk pengembangan obyek wisata pantai Malalayang masih simpang siur, sehingga persepsi masyarakat pengguna menjadi negatif.
Saran
Pemerintah perlu menata obyek wisata pantai Malalayang, dengan tetap mempertahankannya sebagai kawasan wisata pantai yang bersifat open access, tetapi mengatur dan mengendalikan pemanfaatannya. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, pengelolaan pantai Malalayang sebagai obyek wisata sebaiknya diatur sebagai hak kepemilikan negara (band. Fauzi, 2006). Artinya, pemerintah mengatur pemanfaatan, dan karenanya bertanggung jawab pula terhadap penataannya. Namun demikian, pemerintah memberi keleluasaan bagi masyarakat untuk memanfaatkannya, dengan ketentuan-ketentuan yang jelas, sebagai upaya mempertahankan kelangsungan sumberdaya yang tersedia.



Daftar Pustaka
Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
Dahuri,R., Rais,J., Ginting,S.P. dan M.J.Sitepu, 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. PT Pradnya Paramitha, Jakarta.
Darsoprajitno,H.S, 2002. Ekologi Pariwisata. Tata Laksana Pengelolaan Objek dan Daya Tarik Wisata. Penerbit Angkasa, Bandung.
Fauzi, A., 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gunawan, T., 2004. Konsep Perencanaan Konservasi dalam Menata Ruang Darat-Laut Terpadu. Tulisan dalam Buku Menata Ruang Laut Terpadu. Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Rangkuti, F., 2006. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Daftar Isi Edisi Ke-III

Daftar Isi


Konflik Pemanfaatan Taman Nasional Bunaken
Sebagai Kawasan Konservasi
Dannie R. S. Oroh
(Politeknik Negeri Manado)

Analisis Strategi Pengelolaan
Ekowisata Bawah Laut Berbasis Masyarakat di Pulau Bunaken
Diane Tangian
(Politeknik Negeri Manado)

Analisis Korelasi Antara Kunjungan Wisata
Dengan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Bunaken
Tommy M. Kontu
(Politeknik Negeri Manado)

Analisis Daya Dukung Penyelaman di Pulau Bunaken
Diane Tangian
(Politeknik Negeri Manado)

Kondisi Terumbu Karang
di Sekitar Kawasan Reklamasi Teluk Manado
Maykel A. J. Karauwan
(Politeknik Negeri Manado)

Penerapan Konsep Ramah Lingkungan di Bagian Kitchen Hotel
Linda Sinolungan
(Politeknik Negeri Manado)

Perencanaan Kawasan Wisata Pesisir Regional
Dengan Metode ‘Sistem Informasi Geografik’
Maykel A. J. Karauwan
(Politeknik Negeri Manado)

Daftar Isi Edisi Pertama

Daftar Isi


Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam Untuk Ekowisata
Fransiskus Rawung
(Politeknik Negeri Manado)

Tantangan dan Peluang Pengembangan Pariwisata Sangihe
Mareyke Alelo
(Politeknik Negeri Manado)

Pengembangan Wisata Kota Manado
Secara Berkelanjutan dan Berdaya Saing
Diane Tangian
(Politeknik Negeri Manado)

Nilai dan Konflik Pemanfaatan Kawasan Pesisir Laut
Pearl L. Wenas
(Politeknik Negeri Manado)

Kondisi Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bunaken Sulawesi Utara
Maykel A. J. Karauwan
(Politeknik Negeri Manado)

Evaluasi Jumlah Kunjungan Wisata
dan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Bunaken
Diane Tangian
(Politeknik Negeri Manado)

Kondisi Ekosistem Padang Lamun di Tongkeina Sulawesi Utara
Maykel A. J. Karauwan
(Politeknik Negeri Manado)

Pengembangan Wisata Kota Manado Secara Berkelanjutan dan Berdaya Saing

Diane Tangian

Abstract
Manado government has specified Manado vision and mission as a city of world tourism destination 2010. That vision and mission has been following with the readiness of objects and tourism fascination at Manado, like available of tourism interpretation product because that product can improve competitiveness of tourism location destination. Lack of tourism interpretation product in this time is causing tourist recognition of objects and tourism fascination at Manado also very less. Therefore, a policy action formulating development of tourism interpretation product in Manado is needed. Field survey was used as a method concerning standard criterion assessment of objects and natural recreation fascination and history tourism. Research result indicated that City of Manado was having high tourism potency, with index value above 80%. There are two potential tourism interpretation paths according to time and accessibility i.e. Packet B Path (for one until two days) and Packet B (for three until four days). Suggested development strategies that require to be developing in Manado are development of tourism interpretation product as a whole both in tourism area and also outside, because that is very influence competitiveness of Manado tourism.

Kata kunci: wisata, Manado

Pendahuluan
Pariwisata merupakan salah satu produk yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat dalam hal kesempatan kerja, peningkatan taraf hidup yaitu dengan mengaktifkan sektor industri lain. Diperkirakan menjelang abad ke-21 pariwisata akan menjadi andalan perolehan devisa negara dan perkembangannya dapat memacu perekonomian suatu negara. Industri pariwisata pada tahun 2010 diperkirakan akan memberikan kontribusi devisa pada gross domestic product (GDP) sebesar 12%. Pertumbuhan pariwisata pada tahun yang sama diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,5 juta orang di Indonesia (WTO 2002 dalam Cabrini 2002).
Propinsi Sulawesi Utara merupakan daerah yang kaya akan obyek dan daya tarik wisata. Keunggulan potensi pariwisata SULUT kususnya Manado dapat dilihat dari dua sisi yaitu: pertama sebagai daerah tujuan wisata, terdapat beberapa obyek wisata alam, wisata buatan, wisata sejarah, wisata seni dan budaya. Kedua sebagai pintu gerbang pariwisata regional bahkan nasional, karena posisinya yang strategis sebagai inlet/outlet di kawasan timur Indonesia belahan utara ke pasar pariwisata global, khususnya di kawasan Asia Pasifik.
Untuk meningkatkan daya saing, World Travel and Tourism Council (2004) dalam Kasali (2004) menyatakan bahwa pelaku usaha pariwisata di Indonesia perlu mengubah pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata (ODTW) secara konseptual, terencana, bertahap, dan berwawasan lingkungan. Interpretasi merupakan produk pariwisata yang dilandasi konsep ekowisata yang mengkombinasikan kepentingan industri pariwisata, wisatawan dan para pencinta lingkungan.
Permasalahan yang dihadapi industri pariwisata Kota Manado saat ini yaitu minimnya produk interpretasi yang menyebabkan pengenalan wisatawan akan obyek dan daya tarik wisata daerah ini juga sangat minim. Melihat kondisi tersebut perlu dilakukan pengembangan produk interpretasi pariwisata untuk mempermudah wisatawan mengenal dan memahami obyek wisata yang ada. Karena itulah, penelitian ini bertujuan: a)Mengindentifikasi dan menganalisis potensi wisata yang ada di Kota Manado; dan b)Menetapkan produk interpretasi wisata yang dapat dikembangkan di Kota Manado.

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian mengambil lokasi obyek-obyek wisata di Kota Manado. Kota Manado sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara, secara geografis terletak antara 1025’88” – 1039’5” LU dan 124047’00” – 124056’00” BT. Luas wilayah Kota Manado berdasarkan PP No. 22 Tahun 1988 adalah 15.726 ha. Dengan adanya program reklamasi yang dimulai pada tahun1995, luas daratan Kota Manado telah bertambah menjadi 67 ha. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret-Juni 2007, meliputi survei awal, dan pengumpulan data di lokasi penelitian selanjutnya melakukan analisis dan pengelolaan data.
Identifikasi
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi obyek dan daya tarik wisata yang ada di Kota Manado, dan menetapkan produk interpretasi wisata yang dapat dikembangkan di Kota Manado. Penilaian obyek dan daya tarik wisata menggunakan analisis penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata alam (PHKA, 2002), dan untuk analisi alternatif kebijakan menggunakan analisis MPE (Ma’arif dan Tandjung, 2003).
Penelitian dilakukan dengan metode survei (non experimental) melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian. Pengumpulan data ODTW dan potensi pengunjung dengan teknik in-depth interview dan observasi menurut Kusmayadi (2004).
Analisa Data
Data yang diperoleh diolah melalui cara mentabulasikan, kemudian dilakukan analisis berdasarkan jenis dan tujuan penggunaan. Analisis meliputi Analisis Penilaian Potensi menurut Gunn (1994); dan Analisis MPE.

Hasil dan Pembahasan
Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata Kota Manado
Kota Manado memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata yang kompleks, terdiri atas enam potensi wisata alam (darat, laut, dan pantai), 17 potensi wisata sejarah, 12 potensi wisata buatan, dan 12 potensi wisata seni dan budaya. Nilai indeks rata-rata dari masing-masing obyek diatas 80% untuk keindahan, sehingga patut diperhitungkan sebagai daerah tujuan wisata. Taman Nasional Bunaken adalah obyek wisata alam yang menjadi andalan wisata Kota Manado, terkenal dengan keindahan panorama bawah lautnya yang memiliki beraneka macam jenis ikan dan terumbu karang. Selain obyek wisata alam terdapat obyek wisata sejarah, antara lain Klenteng Ban Hing Kiong yang merupakan klenteng tertua dan yang pertama di kawasan Asia. Obyek wisata buatan yang terdapat disepanjang kawasan Boulevard sebagai pusat perbelanjaan dan rekreasi dengan variasi keindahan alam pantai dan pemandangan pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen. Obyek wisata seni dan budaya seperti tarian Maengket, Kabasaran dan musik bambu yang menggambarkan seni dan budaya masyarakat Kota Manado.
Penilaian Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam
Penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata alam serta potensi sosial budaya dan ekonomi dibahas menurut tiga kategori obyek wisata yaitu : darat, pantai, dan laut. Sedangkan nilai indeks dari masing-masing hasil penilaian potensi sumber daya merupakan total nilai setiap obyek dan daya tarik wisata alam yang dievaluasi.
Hasil evaluasi yang didapatkan adalah: Pantai Malalayang 86,83%, Kawasan Taman Nasional Bunaken (Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen) 85,81%, Air Terjun Kima 84,73%, dan Gunung Tumpa (Mamre Green Hills) 84,65%. Perbedaan nilai tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur kriteria penilaiannya yaitu: daya tarik, kondisi lingkungan sosial ekonomi, pelayanan masyarakat, kadar hubungan atau aksesibilitas, akomodasi (radius 15 km dari obyek), prasarana dan sarana penunjang (radius 20 km dari obyek), keamanan, tersedianya air bersih, hubungan obyek dengan obyek wisata lain, dan kondisi iklim.
Penilaian Potensi ODTW Sejarah
Penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata sejarah, untuk melihat obyek yang menonjol berdasarkan urutan nilainya, sehingga dalam pembuatan jalur paket wisata akan mengkombinasikan obyek-obyek yang menonjol antara obyek wisata alam dan sejarah. Unsur penilaian obyek wisata sejarah adalah: keutuhan situs, sejarah nasional atau daerah, kemudahan akses dan pelayanan masyarakat. Hasil evaluasi beberapa situs memiliki nilai yang sama, empat situs dengan nilai indeks tertinggi 98%, delapan situs 94%, dua situs 90,66%, dua situs 90%, dan dua situs dengan nilai indeks terendah 86%.
Nilai indeks tertinggi adalah Goa Jepang, Gereja Sentrum dan Monumen Perang Dunia II, dipengaruhi unsur penilaian keutuhan situs dimana keasliannya masih terjaga dan bernilai sejarah nasional. Sedangkan nilai indeks terendah karena dipengaruhi unsur penilaian keutuhan situs, dimana sebagian telah dipugar sehingga tidak tampak keasliannya.
Penilaian ODTW Sejarah
Tabel 1. Hasil penilaian ODTW Sejarah.
No Nama Situs Nilai1
Indeks2 (%)
1 Waruga 960 99,96
2 Makam Kanjeng Ratu Kedaton 775 78,28
3 Batu Sumanti 950 95,95
4 Goa Jepang 925 93,43
5 Waruga Dotu Lolong Lasut 960 99,96
6 Veld Box 865 87,37
7 Parigi Tujuh 780 78,78
8 Parigi Puteri 795 80,30
9 Batu Kuangang 795 80,30
10 Batu Buaya 885 89,39
11 Monumen Tentara Jepang 775 78,28
12 Kubur Belanda 865 87,37
13 Kelenteng Ban Hing Kiong 920 92,92
14 Batu Bantik 910 91,91
15 Gereja Sentrum (Oude kerk) 920 92,92
16 Monumen Perang Dunia II 890 89,89
17 Meriam Kuno 890 89,89
1 total nilai (N) setiap situs yang dinilai adalah 990 berdasarkan pedoman standar kriteria penilaian ODTW alam (PHKA, 2002) yang telah dimodifikasi.
2 indeks hasil penilaian potensi terhadap total nilai yang dinyatakan dalam presentase.
Evaluasi Alternatif Kebijakan
Pengembangan produk interpretasi wisata Kota Manado dilakukan dengan analisis MPE, berdasarkan kriteria-kriteria penilaian yang telah ditentukan. Hasil pembobotan kriteria penilaian alternatif kebijakan (Tabel 2), potensi obyek dan daya tarik urutan teratas, urutan kedua prasarana dan sarana, urutan ketiga pemandu, dan urutan keempat pelayanan khusus. Dari hasil tersebut terlihat bahwa pengembangan produk interpretasi wisata Kota Manado harus memperhatikan keempat unsur kriteia tersebut, karena besar pengaruhnya terhadap pengembangan pariwisata itu sendiri.
Tabel 2. Hasil pembobotan kriteria penilaian alternatif kebijakan.
No Kriteria Bobot Urutan
1. Pemandu 0,00377 III
2. Aksesibilitas 0,00036 VI
3. Pelayanan khusus 0,00099 IV
4. Pelayanan umum 0,00039 V
5. Penyediaan sarana dan prasarana 0,02955 II
6. Potensi obyek dan daya tarik 0,97342 I
7. Pengunjung 0,00009 VII
1
Hasil evaluasi tersebut berdasarkan kenyataan nyata di lapangan, pengelolaan dan pengembangan obyek wisata hanya terpusat pada kawasan Taman Nasional Bunaken sedangkan obyek wisata lainnya terabaikan menyebabkan wisatawan kurang mengenal obyek-obyek wisata lainnya. Pengembangan dan pemanfaatan obyek-obyek wisata harus dilakukan secara optimal dan meyeluruh guna mencegah terjadinya kejenuhan pasar.
Penyediaan prasarana dan sarana penunjang obyek wisata pada umumnya masih sangat minim. Area pusat informasi obyek wisata secara keseluruhan belum ada, yang ada hanya pusat informasi khusus kawasan Taman Nasional Bunaken. Pusat informasi akan membantu wisatawan lebih mengenal obyek-obyek wisata, dan mengetahui daya tarik dari masing-masing obyek yang ditawarkan. Pemandu merupakan penghubung antara obyek wisata dengan wisatawan, untuk itu pemberdayaan SDM yang berkualitas sangat diperlukan karena pemandu berhubungan langsung dengan wisatawan.
Pelayanan khusus yang perlu dibuat adalah pintu masuk di setiap kawasan obyek wisata untuk mempermudah mengetahui jumlah kunjungan wisatawan. Setiap obyek wisata perlu dibuat papan petunjuk arah, baik diluar kawasan (jalan menuju obyek) maupun di dalam kawasan obyek berupa papan petunjuk keberadaan flora dan fauna, atau nama situs untuk obyek wisata sejarah guna mempermudah wisatawan mengenal obyek wisata. Perlu dibuat papan petunjuk sebagai himbawan bagi wisatawan untuk mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan, sehingga kelestarian lingkungan kawasan tetap terjaga.
Tabel 3 menunjukan bahwa alternatif kebijakan pengembangan produk interpretasi wisata Kota Manado harus dilakukan secara keseluruhan, baik di dalam kawasan obyek wisata maupun diluar kawasan obyek.
Tabel 3. Hasil evaluasi alternatif kebijakan.
No Alternatif Kebijakan Nilai Urutan
1. Pengembangan produk interpretasi di dalam kawasan 10,784 II
2. Pengembangan produk interpretasi keseluruhan 10,788 I
3. Pengembangan produk interpretasi di luar kawasan 9,841 III



Simpulan
1. Interpetasi sangat penting dikembangkan untuk meningkatkan daya saing kawasan wisata Kota Manado. Kota manado memiliki tiga obyek wisata darat, dua obyek wisata pantai, satu obyek wisata laut, 17 obyek wisata sejarah, 12 obyek wisata buatan, dan 12 obyek wisata seni dan budaya. Hasil penilaian potensi obyek wisata alam, memiliki nilai indeks rata-rata diatas 80%, untuk itu perlu dilakukan pengembangan dan pemanfaatan obyek secara optimal dan berkelanjutan. Hasil evaluasi alternatif kebijakan menunjukan pengembangan produk interpretasi wisata harus dilakukan secara keseluruhan, baik di dalam kawasan obyek wisata maupun diluar kawasan obyek.
2 Berdasarkan hasil penilaian potensi ODTW memiliki nilai indeks rata-rata di atas 80%, pemanfaatan keseluruhan sumber daya secara optimal perlu dilakukan dengan mengacu pada pengembangan kawasan yang berkelanjutan. Pengelolaan dan pengembangan obyek pariwisata tidak hanya terpusat pada TNB, tapi harus keseluruhan obyek wisata yang ada untuk mencegah terjadinya tingkat kejenuhan pasar. Berdasarkan hasil evaluasi alternatif kebijakan, pengembangan produk interpretasi wisata harus dilakukan secara keseluruhan baik dalam kawasan obyek wisata maupun diluar kawasan.

Daftar Pustaka
Cabrini, L., 2002. Danish Tourist Board’s Autumn Conference. 13 November 2002. Nyborg, Denmark. Regional Representative for Europe. World Tourism Organisation. Denmark. www.world.tourism.org [24 Mei 2006].
Gunn, C. A., 1994. Tourism Planning. Basics, Concepts, Cases.
Kasali, R., 2004. SOS Daya Saing Pariwisata Indonesia. Liputan khusus Kompas 23 September 2004. Jakarta. Hlm. 37 (kolom 1-9).
Kusmayadi, 2004. Statistik Pariwisata Deskriptif. Gramedia. Jakarta.
Ma’arif, M. S., & H. Tanjung, 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Penerbit Grasindo, Jakarta.
Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, 2002. Kriteria Standar Penilaian Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (Analisis daerah Operasi). Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Bogor.

Sabtu, 02 April 2011

Kondisi Ekosistem Mangrove di Kecamatan Bunaken Sulawesi Utara

Maykel A. J. Karauwan


Abstract
In 1999 mangrove forest in Indonesia is about 8.60 million hectares, from these about 5.30 million hectares were destroyed mainly due to its conversion into rural settlement, industrial area, and brackish water pond. Mangrove has very strategic functions in term of its influence to the coastal ecosystems in attempt to suitable environment for the aquatic organisms. The intensive mangrove destruction, coincided with the accumulation of organic material from feed residue and shrimp feces from intensive shrimp farming, was presumed to contribute to the rising of pathogenic bacteria in shrimp culture. The ecological balance of coastal ecosystem will be stable if the mangrove existence was preserved because of it’s naturally function as biofilters, chelating agent, and pollution trap. Many species of gastropod and crabs as deposit feeders, and many species of bivalvia filter feeders were also found in mangrove. All of these will contribute to the high capacity of mangrove as natural biofilters. Various fish species including herbivore, omnivore, and carnivore fishes will be grazing in the mangrove waters on high tide.

Kata kunci : Mangrove, Condition, Pemanfaaatan

Pendahuluan
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Pada umumnya mangrove tumbuh di pantai-pantai yang terlindung, muara sungai, goba atau “lagoon”, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Nybakken, 1988). Ekosistem mangrove berperan penting sebagai pelindung dan stabilisator garis pantai, pengumpul lumpur dan pembentukan lahan, habitat alami berbagai satwa liar dan merupakan daerah asuhan beberapa hewan akuatik. Selain itu hutan mangrove didayagunakan manusia sebagai sumber makanan, obat-obatan serta bahan-bahan untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, bahan bangunan, perabot rumah tangga dan lain-lain, (Dahuri dkk. 1996).
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia tercatat 3.735.250 hektar dan areal seluas itu sekitar 35.85 % terdapat di Papua, Kalimantan 30.51 %, Sumatera 22.82 %, Sulawesi 6.71 %, Maluku 3.98 %, Jawa 0.90 %, Bali dan Nusa Tenggara 0,43%. Luas hutan mangrove di Sulawesi Utara sekitar 28,000 Ha (DIRJEN INTAG dalam Rahim 2002). Berdasarkan kajian komunitas mangrove, di Sulawesi Utara ditemukan 17 jenis mangrove dari 9 Famili dimana jenis yang dominan ditemukan adalah Rhizophora, Bruguiera, (Famili Rhizophoraceae), dan Sonneratia (Famili Sonneatiaceae). Mangrove terdapat di Taman Nasional Bunaken dengan luas total + 1.800 ha, dengan rincian yang mengelilingi Pulau Mantehage (1.435 ha) dan di sebagian tempat Pulau Bunaken (76 ha), Pulau Manado Tua (7.7 ha), pulau Siladen dan Pulau Nain (7 ha). Selain itu pesisir bagian utara Molas – Wori terdapat hutan mangrove seluas 235 ha, dan di Pesisir Arakan Wawontulap seluas 933 ha. Selain itu, Desa Sapa dan Boyong Pante yang juga berada di bagian Utara Minahasa terdapat mangrove walaupun dalam jumlah spesies yang relatif sedikit 5 spesies dan jenis dominan Sonneratia (Anonimous 2002).

Metode Penelitian
Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatasi pengamatan terletak di Teluk Manado (Desa Tongkeina-Molas dan Meras). Ketiga lokasi ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Bunaken. Gambar berikut ini menampilkan sebaran mangrove di lokasi pengamatan.

Gambar 1. Peta sebaran Mangrove di Teluk Manado (Sumber : Peta GIS 2002 hasil olahan)
Teknik Pengamatan dan Analisis
Untuk melihat laju perubahan kondisi ekosistem mangrove maka digunakan analisis citra digital hasil olahan sebagai pembanding kondisi tahun 1994 dan 2004.
Untuk melihat tipe fungsional dari hutan mangrove yang menjadi fokus kajian maka digunakan metode transek kuadran. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan transek garis kuadran dengan jarak 50 meter dan tiap petak kuadran berukuran 10 m x 10 m sebanyak 5 plot kuadran
Formula yang digunakan untuk menghitung kepadatan berdasarkan Krebs (1989).
Kerapatan Spesies (Di)
Di = ni / A
Keterangan : Di = Kerapatan spesies i,
Ni = Jumlah total individu dari spesies i
A = Luas area total pengambilan contoh
Kerapatan Relatif Spesies (RDi)
RDi = (ni /n) x 100

Hasil dan Pembahasan
Kecamatan Bunaken merupakan wilayah kecamatan terluas di kota Manado, yang memiliki beranekaragam ekosistem pesisir yang lengkap yang salah satunya adalah ekositem mangrove. Hasil deteksi perubahan luas hutan mangrove dengan menggunakan analisis citra digital maka dibandingkan luas kawasan mangrove pada lokasi molas sampai dengan wori sebelum reklamasi tahun 1994 dan sesudah reklamasi tahun 2002. Tabel Berikut ini menampilkan Laju deforestasi mangrove di Pesisir Utara Teluk Manado (Molas-Wori).
Tabel 1. Laju deforestasi mangrove di Pesisir Utara Teluk Manado (Molas-Wori)
Lokasi Luas Mangrove (ha) Selisih
(ha) Laju deforestasi
(ha/thn)
Tahun 1994 Tahun 2004
Molas - Wori 234.96 115.95 119.01 14.88
Sumber: Data sekunder dan hasil analisis
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut maka luas kawasan mangrove yang saat ini berkisar 119.01 ha, dengan laju deforestasi 14.88 ha/thn. Hal ini dikarenakan pengembangan wilayah reklamasi pantai sangat berpengaruh terhadap pembangunan daerah sekitarnya. Pengaruh tersebut memberikan perubahan luas yang signifikan terhadap ekosistem terutama Mangrove. Banyak kawasan mangrove di tebang untuk pembangunan resort, dermaga dan lahan untuk tambak. Gambar berikut ini merupakan salah aktivitas pembukaan kawasan mangrove untuk pembangunan darmaga di desa Molas.






Gambar 2. Pembangunan Darmaga dan Resort di daerah Molas Kecamatan Bunaken
Hasil pengamatan dan analisis vegatasi mangrove ditampilkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2. Jumlah jenis mangrove, kanopi dan total anakan di Kecamatan Bunaken sesudah reklamasi di Teluk Manado
Lokasi Kanopi
(%) Total
Jumlah
Anakan Salinitas
(o/oo) Jumlah/Jenis Pohon
(area sampling 0 – 50 meter)
Sonneratia alba
(posi-posi) Bruguiera gymnorrhiza
(Makurung Laut) Rhizophora mucronata
(Lolaro) Ceriops tagal
(Ting Biasa) Avicennia marina
(api-api) ∑
Tongkeina 55 95 30 26 14 - - 2 42
Meras 48 35 31 16 - 7 7 10 40
Molas 32 55 30 3 - 11 23 16 53
Sumber : Hasil olahan data primer
Jenis mangrove yang terindentifikasi berada di lokasi pengamatan terdiri atas 5 jenis dengan jumlah anakan 185 seperti yang terlihat dalam tabel 15 di atas. Hasil perhitungan jumlah pohon untuk masing-masing lokasi yaitu Tongkaina memiliki jumlah pohon 42 dengan jenis tertinggi adalah Sonneratia alba dan terendah adalah Avicennia marina 2 pohon. Pada daerah Molas, diperoleh jumlah sebanyak 53 pohon dengan jenis tertinggi Ceriops tagal 23 pohon dan terendah adalah Sonneratia alba hanya 3 pohon. Untuk lokasi Meras jumlah pohon sebanyak 40 dengan jenis tertinggi adalah Sonneratia alba dan yang terendah Rhizophora mucronata dan Ceriops tagal 7 pohon.
Tabel 3 berikut ini menampilkan tingkat kepadatan individu dan kepadatan relatif pada masing-masing lokasi penelitian.
Tabel 3. Kepadatan individu (ind/m2) dan kepadatan relatif (%) mangrove di ketiga lokasi pengamatan.
Lokasi Jenis Pohon (Nama lokal)
Sonneratia alba
(posi-posi) Bruguiera gymnorrhiza
(Makurung Laut) Rhizophora mucronata
(Lolaro) Ceriops tagal
(Ting Biasa) Avicennia marina
(api-api) ∑
1 Tongkeina
Kepadatan (ind/m2) 0.52 0.28 - - 0.04 0.84
Kepadatan Relatif (%) 61.90 33.33 - - 4.76 100
2 Meras
Kepadatan (ind/m2) 0.32 - 0.14 0.14 0.2 0.80
Kepadatan Relatif (%) 40.0 - 17.5 17.5 25 100
3 Molas
Kepadatan (ind/m2) 0.06 - 0.22 0.46 0.32 1.06
Kepadatan Relatif (%) 5.66 - 20.75 43.40 30.19 100
Sumber : Hasil olahan data Primer
Kepadatan individu untuk lokasi penelitian di Tongkeina ditemukan 3 jenis mangrove dan yang yang tertinggi Sonneratia alba dengan nilai 0.52 ind/m2 dengan kepadatan relatif 61.90%, sedangkan untuk nilai terendah Avicennia marina dengan kepadatan 0.04 ind/m2. Sedangkan untuk lokasi penelitian di desa Meras dan Molas di temukan 4 jenis individu mangrove. Tingkat Kepadatan individu tertinggi untuk Lokasi Meras adalah Sonneratia alba 0.32 ind/m2 dengan kepadatan relatif 40% dan yang terendah adalah jenis Rhizophora mucronata dan Ceriops tagal 0.14 ind/m2, yang kepadatan relatifnya adalah 17.5%. Berbeda pula dengan lokasi Molas, kepadatan individu yang tertinggi adalah Ceriops tagal 0.46 ind/m2, dan kepadatan relatif 43% dan yang terendah adalah Rhizophora mucronata dengan kepadatan individu 0.06 ind/m2 dan kepadatan relatifnya 5.66%.
Tutupan kanopi tertinggi terdapat di daerah Tongkaina 55% (Kategori B 50%-74%), Kondisi mangrove yang terdapat di kawasan Tongkaina masih dalam kondisi baik dan juga merupakan Hutan Taman Negara dan ketiga lokasi ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Bunaken. Selanjutnya kondisi mangrove yang terendah di daerah Molas dan Meras masuk Kategori C 25%-49%.

Gambar 3. Kondisi Mangrove di kecamatan Bunaken Berdasarkan Tutupan Kanopi

Simpulan
1. Terindentifikasi memiliki jumlah anakan 185 dan 5 jenis mangrove yaitu Avicennia marina, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, Ceriops tagal. Kondisi mangrove berdasarkan tutupan Kanopi masih dalam keadaan baik terutama di daerah Tongkaina 55%, tetapi di daerah Molas dan Meras hanya
2. Sebaran mangrove umummya terdapat di bagian utara Teluk Manado kecamatan Bunaken, terindentifikasi kondisi mangrove mengalami penurunan akibat pemanfaatan lahan dengan pembukaan tambak, resort dan darmaga. Sedangkan untuk ekosistem lamun dikhawartirkan akan mengalami penurunan akibat tingkat sedimentasi yang tinggi di kawasan ini.

Daftar Pustaka
Anonimous, 2002. Proposal Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Kabupaten Bolaang CRITC (Coral Reef Information and Training Center). 2000. Survei Potensi Mangrove, Lamun, dan Terumbu Karang, di Pesisir Aerbanua (P. Talise), Kahuku (P. Bangka), Rumbia, Minanga, Sapa, dan Boyong Pante. Laporan Penelitian. Kerjasama dengan Proyek Pesisir (CRMP) Sulawesi Utara.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., & M. J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta. 305 hal.
Rahim, M., 2002. Telaah Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove Di Perairan Pesisir Desa Pinasungkulan Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT. Manado
Krebs, C. J., 1989. Ecological Methodology. University of British Columbia. Harper Collins Publishers.
Nybakken, J., 1992. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit Gramedia-Jakarta. 459 halaman.

Inventarisasi Potensi Budaya Lokal di Kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap untuk Pengembangan Ekowisata

Oktavianus Lintong
(Politeknik Negeri Manado)

Abstract
One of the coastal areas is very potential to be developed into ecotourism area in North Sulawesi, namely Arakan-Wawontulap Coast Region. Previous research states that a natural resource in this area is very potential to be developed for ecotourism purposes. However, what about the potential of local culture? Because, ecotourism rests on two main aspects, i.e. aspects of natural resources and local culture. And assessment of the potential of ecotourism in the region must be comprehensive, especially against these two major aspects: natural resources and local culture. Inventory of local culture is there are three components, namely culture attraction, local wisdom, and craft products. Cultural attractions are all kinds of performances and staging of cultural nuances. Local wisdom is all style, customs and way of life of local communities that are beneficial to nature, environment, and human civilization. Handicraft products are quality goods produced by working hand or simple tool by the community or small industry. This paper shows the results of an inventory of the three components of the local culture in the Arakan-Wawontulap Coast Region.

Kata kunci: budaya lokal, ekowisata, Pesisir Arakan-Wawontulap


Latar Belakang
Salah satu kawasan pesisir yang sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan ekowisata di Sulawesi Utara yaitu kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap. Pesisir Arakan-Wawontulap merupakan nama suatu kawasan konservasi, bagian dari Taman Nasional Bunaken (TNB), dan biasa disebut TNB Bagian Selatan. Di dalam kawasan ini terdapat sepuluh desa, yaitu Poopoh, Teling, Kumu, Pinasungkulan, Raprap, Arakan, Sondaken, Pungkol, Wawontulap, dan Popareng. Secara administratif termasuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten Minahasa dan Minahasa Selatan.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa sumberdaya alam di kawasan ini sangat potensial dikembangkan untuk tujuan ekowisata (Lintong, 2010). Menjadi pertanyaan selanjutnya: ”Bagaimana dengan potensi budaya lokal di kawasan ini?” Sebab, ekowisata bertumpu pada dua aspek utama, yaitu aspek sumberdaya alam dan budaya lokal. Dan penilaian potensi ekowisata di suatu kawasan haruslah dilakukan komprehensif, terutama terhadap dua aspek utama ini: sumberdaya alam dan budaya lokal.
Potensi ekowisata di suatu kawasan pesisir dapat dilihat dari dua sisi; yaitu: 1)potensi yang menguntungkan dari keberadaan yang sebenarnya dalam kawasan tersebut (existing), dan 2)potensi yang dapat menghambat pengembangan (constraint) (Priskin, 2001; Gunawan, 2004; Damanik dan Weber, 2006; Dahuri dkk., 2008; Lasut dkk., 2008). Sisi existing yang terutama adalah kondisi alam dan budaya. Tumpuan utama ekowisata adalah alam dan budaya, sehingga kondisi sebenarnya dari kedua aspek ini yang secara nyata ada di kawasan yang hendak dikembangkan, menjadi syarat mutlak pengembangan ekowisata. Tingkat keragaman atraksi alam dan budaya di suatu kawasan, menjadi potensi ekowisata yang paling diperhitungkan (Priskin, 2001). Konsep ekowisata menyaratkan sisi existing ini tidak bisa diubah atau direkayasa (Damanik dan Weber, 2006).
Pengertian ‘lokal’ dalam terminologi Budaya Lokal, dalam hal ini merujuk pada wilayah, bukan pada kelompok etnis. Kuntowijoyo (2006) dan Ranjabar (2006) mengungkapkan bahwa definisi budaya lokal bisa saja merujuk pada etnis tertentu, atau pada suatu wilayah tertentu. Bila merujuk pada etnis tertentu, berarti menyangkut satu etnis saja, misalnya budaya Minahasa atau budaya Sunda. Jika merujuk pada suatu wilayah, berarti menyangkut masyarakat yang hidup dalam suatu batasan wilayah. Masyarakat dalam suatu wilayah bisa saja terdiri dari satu etnis, lebih dari satu, atau banyak etnis, misalnya budaya kawasan pesisir Arakan-Wawontulap.
Inventarisasi budaya lokal dilakukan terdapat tiga komponen, yaitu aktraksi budaya, kearifan lokal, dan produk kerajinan. Budaya lokal, bersama dengan sumberdaya alam, merupakan aspek utama pengembangan ekowisata. Aktraksi budaya, kearifan lokal, dan produk kerajinan merupakan komponen-komponen budaya lokal yang bisa dikembangkan menjadi produk dan aset utama dari suatu industri ekowisata, berdampingan dengan komponen-komponen sumberdaya alam (Damanik dan Weber, 2002). Atraksi budaya adalah semua jenis pertunjukan dan pementasan yang bernuansa budaya. Kearifan lokal adalah semua gaya, kebiasaan, dan cara hidup masyarakat lokal yang memberi manfaat terhadap alam, lingkungan hidup, dan peradaban manusia. Produk kerajinan adalah barang bermutu yang dihasilkan melalui pengerjaan tangan atau alat sederhana oleh masyarakat atau industri kecil.


Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi potensi budaya lokal masyarakat di kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap dalam rangka pengembangan kawasan ini sebagai kawasan ekowisata. Hasil inventarisasi diharapkan menjadi informasi ilmiah, melengkapi hasil penelitian sebelumnya tentang potensi sumberdaya alam, yang dapat menjadi rujukan bagi semua stakeholders dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan.

Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap, Juni sampai Agustus 2010. Pengumpulan data menggunakan metode Wawancara, Dokumentasi, dan Observasi. Data yang terkumpul, dianalisis secara Deskriptif.


Hasil dan Pembahasan
Hasil inventarisasi budaya lokal di kawasan pesisir Arakan-Wawontulap, diperlihatkan secara umum pada Tabel 1.


Tabel 1. Keragaman Budaya Lokal di Kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap
No. Bentuk Keragaman Nama Penjelasan
1. Atraksi Budaya
1) Tarian Masamper Tarian khas etnis Sangihe yang berkaitan dengan upacara adat ungkapan syukur kepada Pencipta.
Maengket Tarian khas etnis Minahasa yang berhubungan dengan upacara adat panen, syukur menempati rumah baru, membuka lahan pertanian baru, dan syukur lainnya.
Kabasaran Tarian khas etnis Minahasa yang menggambarkan kegagahan prajurit perang Minahasa.
2) Tradisi Tulude Upacara adat etnis Sangihe untuk menyatakan syukur atas penyertaan Tuhan selama setahun yang telah lewat dan memohon pertolongan Tuhan untuk tahun yang akan datang.
Pengucapan Syukur Tradisi mengucap syukur kepada Tuhan atas hasil panen dan kerja dalam setahun. Masyarakat beribadah dan membawa hasil panen ke Gereja, sesudah itu menggelar acara makan-minum bersama kerabat dan kenalan. Biasanya digelar pada bulan Juni-Juli, dan jalan di kawasan ini menjadi sangat macet karena dipenuhi orang-orang yang hendak berkunjung ke kerabat atau kenalannya.
Mandi Safar Mandi beramai-ramai di pantai selama seharian penuh. Digelar pada bulan Safar (bulan ke-2 dalam kalender Hijriah).
2. Kearifan Lokal Bulan 15 Pada bulan inilah diijinkan melihat Dugong dari dekat, sedekat yang bisa dilakukan. Selain pada bulan ini tidak diperkenankan.
Pante Tuturuga Suatu lokasi di pantai yang dikhususkan untuk Penyu bertelur. Lokasi ini tak boleh diganggu, karena diyakini akan mempengaruhi hasil tangkapan di laut.
Goso Blanga Pelarangan membersihkan alat-alat dapur di pantai. Jika ketahuan akan dikenakan sanksi adat dan harus dilakukan prosesi penghapusan, agar tidak terjadi ombak besar yang dapat merusak pemukiman penduduk.
3. Produk Kerajinan Sisik Ikan Sisik ikan tidak dibuang, tapi diolah menjadi berbagai bentuk kerajinan, seperti miniatur kapal, boneka tarsius, dan sebagainya.


1. Atraksi Budaya
Atraksi-atraksi budaya yang pernah dan masih ada, umumnya berkaitan dengan etnis dan agama yang dianut masyarakat. Struktur masyarakat di kawasan Arakan-Wawontulap didominasi oleh dua etnis yaitu Nusa Utara dan Minahasa (Gambar 1), karena itu masyarakat membentuk kelompok-kelompok tarian yang berkaitan dengan budaya etnis tersebut. Hampir di semua desa terdapat kelompok tarian Masamper, meskipun hanya beberapa kelompok saja yang eksis. Di desa Kumu pernah ada kelompok penari Maengket dan Kabasaran, namun sekarang tidak aktif lagi seiring dengan semakin minim kegiatan perlombaan dan iven yang memerlukan pertunjukan tarian ini. Di kawasan ini pernah pula dilaksanakan tradisi Tulude, yaitu suatu upacara adat etnis Sangihe yang berkaitan dengan ungkapan syukur atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan selama setahun dan memohon penyertaan Tuhan untuk tahun yang akan datang.





















Sebagian besar masyarakat di kawasan ini menganut agama Kristen, karena itu tradisi yang menonjol dan rutin dilakukan masyarakat di kawasan ini adalah Pengucapan Syukur. Tradisi ini difasilitasi sepenuhnya oleh Gereja dan Pemerintah. Biasanya dilaksanakan sekitar bulan Juni atau Juli setiap tahun. Di desa Arakan, banyak dihuni oleh masyarakat yang beragaman Islam, sebab itu ada satu tradisi yang dikembangkan masyarakat disini berkaitan dengan Islam yaitu Mandi Safar. Namun demikian, tradisi-tradisi ini bukan merupakan tradisi khas, karena Pengucapan Syukur dan Mandi Safar juga bisa disaksikan di tempat-tempat lain.

2. Kearifan Lokal
Setidaknya ada 3 bentuk kearifan lokal yang dapat digali dari kehidupan masyarakat pesisir Arakan-Wawontulap. Bentuk-bentuk kearifan ini sangat erat hubungannya dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam. Bulan 15 merupakan bulan yang ditetapkan untuk melihat Dugong. Biasanya melihat dugong dilakukan beramai-ramai. Masyarakat berkumpul di pantai dan menyaksikan Dugong beraktivitas di hamparan lamun dan tepian mangrove. Selain bulan 15, di banyak tempat juga menetapkan saat bulan mati juga sebagai waktu melihat Dugong. Setelah bulan 15 lewat, masyarakat tidak diperkenankan lagi melihat Dugong, apalagi mengganggunya, meskipun terlihat beraktivitas di dekat pantai. Namun kearifan ini tidak diterapkan lagi di masyarakat, sebab saat ini mengamati Dugong harus sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Balai Taman Nasional Bunaken.
Di beberapa lokasi pantai, ditetapkan masyarakat sebagai lokasi khusus Penyu. Biasanya lokasi itu ditetapkan karena diketahui sebagai tempat Penyu bertelur. Masyarakat lokal biasa menyebut lokasi-lokasi ini dengan sebutan ‘pante tuturuga’. Pante tuturuga tidak akan pernah diganggu karena diyakini bahwa jika diganggu maka hasil tangkapan ikan akan sangat menurun. Dulu di kawasan pesisir Arakan-Wawontulap, masih terdapat beberapa lokasi pante tuturuga, tapi sekarang yang diketahui hanya tersisa dua lokasi saja, yaitu di pantai Arakan dan Tanjung Kilat.
Tempo dulu, masyarakat kawasan ini mengenal istilah ‘goso blanga’. Istilah ini merujuk pada suatu pelarangan membersihkan alat-alat dapur di pantai, sebab diyakini jika mengotori pantai akan menyebabkan ombak besar yang bisa merusak pemukiman warga. Sebenarnya dengan budaya ini dapat diartikan bahwa masyarakat sejak dulu berusaha menjaga kebersihan pantai dan laut.

3. Produk Kerajinan
Sampai saat ini, masih ada satu produk kerajinan yang tetap dikerjakan masyarakat di pesisir Arakan-Wawontulap. Produk kerajinan tersebut yakni pembuatan berbagai bentuk kerajinan yang terbuat dari sisik ikan. Ibu-ibu di desa Arakan masih terlihat membuat miniatur perahu, rumah adat, boneka tarsius, boneka ikan, dan sebagainya dari sisik-sisik ikan yang telah dikeringkan, meskipun pembuatannya tergantung adanya permintaan atau jika ada pameran saja. Beberapa bentuk kerajian lain, misalnya sovenir dari tempurung kelapa dan kerang, diketahui pernah dikerjakan masyarakat, tetapi saat ini tidak ada lagi.


Kesimpulan dan Saran
1. Atraksi budaya masyarakat Pesisir Arakan-Wawontulap yang pernah dan masih ditampilkan: tarian Masamper, Maengket dan Kabasaran; tradisi Tulude, Pengucapan Syukur, dan Mandi Safar.
2. Kearifan lokal yang berhasil diinventarisasi ialah Bulan 15, Pante Tuturuga, dan Goso Blanga.
3. Produk kerajinan yang diketahui pernah dikerjakan masyarakat ialah Kerajinan Sisik Ikan.
4. Beragam budaya lokal masyarakat Pesisir Arakan-Wawontulap belum sepenuhnya berhasil terinventarisasi, masih perlu digali dan dikembangkan lebih dalam lagi, karena itu disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.



Daftar Pustaka

Bakosurtanal, 2010. Peta Provinsi Sulawesi Utara. Layanan Peta Digital.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu, 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Damanik, J. dan H. F. Weber, 2006. Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi. Pusat Studi Pariwisata UGM & Penerbit Andi, Yokyakarta.
Gunawan, W. 2004. Strategi Pengembangan Ekowisata. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Ekowisata di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Lasut, M. T., K. R. Jensen dan G. Shivakoti, 2008. Analysis of constraints and potentials for wastewater management in the coastal city of Manado, North Sulawesi, Indonesia. Journal of Environment Management 88 (2008) 1141-1150 pp.
Lintong, O. 2010. Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap untuk Pengembangan Ekowisata. Artikel. Jurnal Ekowisata, Edisi X-Juli 2010. ISSN 1978-452X. Politeknik Negeri Manado.
Kuntowijoyo, 2006. Budaya dan Masyarakat. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Priskin, J. 2001. Assessment of Natural Resources forNature-based Tourism: The Case of The Central Coast Region of Western Australia. Tourism Management Journal, 22 (2001) 634-648 pp.
Ranjabar, J. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Penerbit Ghalia, Bogor.

Potensi Wisata Selam di Perairan Malalayang-Dua Kota Manado

Alma K. Pongtuluran
(Politeknik Negeri Manado)




Abstract
This study aims to inventory the potential tourist submarine in the waters Malalayang-Two city of Manado, to be recommended as dive attractions in the city of Manado. This research is expected to provide input for the government, society, and all stakeholders, to develop tourism in the city of Manado. There are three main points Malalayang-Two dives in the waters, namely “Baraccuda”, “Terminal”, and “Boboca”. These spots are generally characterized by sandy and fast-flowing strong. There are several species of corals and exotic biota mini in these spots this dive. It is therefore advisable to develop a tourist submarine in waters Malalayang-Two predominately in adventure tourism.

Kata kunci: Malalayang, selam



Latar Belakang
Dewasa ini, pemerintah dan masyarakat kota Manado berupaya mengembangkan potensi wisata, dalam rangka mewujudkan visi kota Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia. Salah satu strategi pengembangan yang dilakukan yakni mencari dan membangun objek dan daya tarik wisata (ODTW) baru. Lokasi-lokasi tertentu yang dianggap pantas dan berpotensi, dibangun dan dikembangkan. Upaya ini dilakukan dengan untuk menciptakan ODTW baru, sehingga wisatawan memiliki banyak pilihan objek kunjungan di kota Manado, dan diharapkan semakin banyak wisatawan yang berkunjung karena luasnya spektrum inventory wisata yang dikembangkan di kota Manado.
Sebagai kota pantai, kota Manado pasti memiliki beberapa tempat yang sangat potensial dikembangkan sebagai ODTW baru, khususnya berkaitan dengan wisata bahari. Wisata bahari adalah aktivitas wisata yang dilakukan di lingkungan bahari. Wisata bahari dapat berupa penyelaman, snorkling, pengamatan biota, pemandangan, atau olahraga air yang lebih ditujukan untuk hiburan bukan prestasi. Meskipun demikian, umumnya wisata bahari lebih difokuskan pada aktivitas penyelaman, karena itu ODTW yang berhubungan dengan wisata bahari diartikan sebagai objek-objek penyelaman atau objek wisata selam.
Perairan Malalayang Dua merupakan satu lokasi yang dianggap terdapat potensi wisata selam. Perairan ini terletak di sebelah barat kota Manado, dengan panjang garis pantai mencapai 4 kilometer (Gambar 1). Beberapa komunitas telah menjadikan perairan ini sebagai pusat wisata selam di kota Manado. Namun demikian, perlu dilakukan inventarisasi potensi untuk mengetahui potensi sebenarnya yang dimiliki perairan ini, sehingga informasi tentang potensi wisata selam di perairan Malalayang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.








Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi potensi wisata selam di perairan Malalayang-Dua kota Manado, untuk dapat direkomendasikan sebagai objek wisata selam di kota Manado. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi pemerintah, masyarakat, dan semua stakeholders, untuk pengembangan pariwisata di kota Manado.


Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan 2 metode penelitian, untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Pendapat Pakar digunakan untuk menginventarisasi potensi wisata selam. Pendapat Pakar adalah metode pengumpulan data yang mendokumentasikan pendapat sejumlah orang yang dianggap paling mengetahui permasalahan yang hendak dipecahkan (Arikunto, 2006). Sejumlah orang (Peneliti, Penyelam Profesional, Masyarakat Lokal) dimintai pendapat seputar keberadaan objek penyelaman di perairan Malalayang Dua. Pendapat sejumlah orang tersebut, kemudian didokumentasikan dan dicatat secara rinci dan terstruktur (diinventarisasi). Objek-objek yang berhasil terinventarisasi, kemudian diobservasi. Observasi adalah metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan mengamati langsung sumber data (Arikunto, 2006).

Hasil dan Pembahasan
Di perairan Malalayang Dua setidaknya terdapat 3 titik (spot) utama penyelaman yang dapat direkomendasikan untuk wisata selam (Tabel 1). Tiga titik ini berada di sekitar 50-150 meter dari garis pantai (Gambar 2).
Tabel 1. Titik Penyelaman di Perairan Malalayang-Dua
No. Spot Lokasi Karakteristik
1. Baraccuda Perairan depan bekas Rumah Makan Baraccuda, sampai Pompa Bensin Malalayang. - berpasir
- terdapat beberapa jenis karang
- arus kuat
- dapat dijumpai biota eksotik mini
2. Terminal Perairan depan kompleks terminal Malalayang. - berpasir
- arus kuat
- dapat dijumpai biota eksotik mini
3 Boboca Perairan depan tugu Boboca di tapal batas kota Manado dan kabupaten Minahasa. - berpasir
- terdapat beberapa jenis karang
- arus sedang sampai kuat
- dapat dijumpai biota eksotik mini
















Spot penyelaman pertama dapat disebut Baraccuda, sebab spot ini berada di perairan depan bekas rumah makan Baraccuda yang sudah dikenal masyarakat umum. Karakteristik spot ini berpasir, dapat dijumpai beberapa jenis karang yang membangun koloni dalam luasan tertentu. Di spot ini dapat dijumpai biota-biota eksotik yang berukuran kecil (mini). Arus air laut di spot penyelaman ini cukup kuat, sehingga perlu perhatian khusus untuk menyelam di lokasi ini. Spot penyelaman kedua disebut Terminal, karena lokasinya berada di perairan depan kompleks terminal Malalayang. Sama seperti spot penyelaman Baraccuda, di spot ini juga berarus kuat, berpasir, dan dapat dijumpai biota-biota eksotik mini. Spot penyelaman ketiga disebut Boboca, disesuaikan dengan lokasi spot ini yang berada pada perairan depan tugu Boboca yang ada di tapal batas kota Manado. Karakteristik spot ini berpasir, dengan kondisi arus sedang sampai kuat. Di spot ini juga dapat dijumpai beberapa jenis karang yang berkoloni dan biota-biota eksotik mini.
Objek wisata selam di perairan Malalayang Dua umumnya berkarakter arus kuat. Sebab itu, objek wisata selam ini dapat dipromosikan sebagai objek wisata yang menawarkan adventure tourism, apalagi dikombinasikan dengan eksistensi biota eksotik mini yang ada di perairan ini. Aktivitas menemukan biota eksotik mini, di tengah-tengah kondisi perairan yang berarus kuat, merupakan aktivitas wisata yang memerlukan ketrampilan khusus dan stamina, tapi juga menjadikan spot ini sebagai lokasi wisata yang menantang, karena itu spot-spot ini memenuhi unsur-unsur adventure tourism (Hunt, 1989). Kondisi objek seperti ini dapat menjadi produk wisata berkarakter khusus untuk menangkap segmen pasar tertentu. Kondisi ini sangat menguntungkan terutama dalam menyikapi segmentasi pasar yang sangat terfragmentasi seperti yang diungkapkan Kotler dkk. (2003).
Kondisi spot-spot penyelaman di perairan Malalayang-Dua sangat kontras dengan aksesibilitasnya. Akses ke lokasi ini sangat mudah, sebab meskipun berada di pinggiran sebelah barat kota, tapi masih dalam kawasan kota dengan melintasi jalan trans Sulawesi. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi rencana pengembangan. Lokasi dapat diakses dengan sangat mudah, tapi spot penyelaman menawarkan petualangan. Kontradiksi ini menjadi bahan promosi menguntungkan bagi objek wisata selam perairan Malalayang-Dua. Di samping itu, kondisi ini menjadi peluang bisnis bagi pusat-pusat pelatihan selam. Dapat saja dikembangkan pusat-pusat pelatihan selam di lokasi ini, sebagai persiapan menikmati petualangan mencapai spot-spot penyelaman.

Kesimpulan dan Saran
Terdapat tiga titik utama penyelaman di perairan Malalayang Dua, yaitu Baraccuda, Terminal, dan Boboca. Ketiga spot ini umumnya berkarakteristik berpasir, berarus kuat, serta terdapat beberapa jenis karang dan biota eksotik mini. Akses ke lokasi ini sangat mudah, namun spot penyelaman menawarkan aspek petualangan. Karena itu, perairan Malalayang-Dua berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata selam yang berkarakter adventure tourism.
Namun demikian, disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kapasitas kegiatan wisata yang paling sesuai dengan daya dukung lokasi ini, dalam upaya konservasi. Selain itu, perlu dilakukan monitoring secara berkala kondisi setiap spot penyelaman untuk mengantisipasi perubahan lingkungan.


Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
Bakosurtanal, 2010. Peta Provinsi Sulawesi Utara. Layanan Peta Digital.
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. PK-SPL. IPB, Bogor.
Hunt, J. 1989. In Search of Adventure. Talbot Adair Press, New York.
Kotler, P., J. Bowen and J. Makens, 2003. Marketing for Hospitality and Tourism. Third Edition. Prentice Hall, New Jersey, USA.

Kamis, 03 Maret 2011

POTENSI DAS TONDANO DALAM PENGEMBANGAN WISATA KOTA MANADO


By
Benny I Towoliu, SE & Pearl L. Wenas, SE, MSi
( Dosen Pada Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Manado Telp 081340034007-085256940600 )
Abstract

Tondano river is one of three the longest river in north Sulawesi ,it is 41.10km. The river is started flow from Tondano lake until Manado beach. Even the name is Tondano River that is taken from capital city of Minahasa region, but the that position is very potential in Manado. Its located too strategic, across in the midle of Manado city. Surely beautiful city will be influenced of coastal area. As city that declare tourism is priority program, development of coastal river for tourism city is the alternative to establish local potential unique toward benefit of stake holders.
Keyword ; Tondano river and tourism city.
Dalam beberapa tahun terakhir kota-kota besar di dunia mulai meraih kembali sungai untuk objek wisata kota. Hal ini juga didorong oleh kecenderungan pergeseran dari ekonomi yang mengandalkan kegiatan manufaktur ke ekonomi yang mengandalkan kegiatan informasi dan jasa seperti pariwisata.
Indonesia, yang memiliki banyak kota sungai, sebenarnya mencanangkan pariwisata untuk menjadi penghasil devisa terbesar. Namun pengembangan wisata kota belum banyak berkembang karena pembangunan dan pengembangan kota sendiri biasanya sudah dibebani dengan berbagai permasalahan yang rumit seperti tingginya populasi, perumahan kumuh, penyediaan lapangan kerja dan lainnya.
Keberadaan sungai-sungai di Indonesia tetap memegang peranan sangat penting dalam kehidupan kota masa kini. Sebagai contohnya, Kota Samarinda dengan Sungai Mahakam serta Palembang dengan Sungai Musi
Sungai tersebut tentunya memberikan beragam kepentingan, seperti air bersih, pembangkit listrik, irigasi, rekreasi bahkan untuk tempat pembangunan limbah. Dengan pertumbuhan kota yang cepat dan populasi penduduk yang terus meningkat, pengalokasian penggunaan air untuk pertanian, industri, persediaan air perkotaan dan sanitasi, perikanan, navigasi dan transportasi, pembangkit tenaga listrik, pelestarian lingkungan, dan rekreasi menjadi semakin pelik karena terbatasnya sumber air dan meningkatnya polusi.
Ironisnya, peranan vital sungai seringkali tidak tercermin dalam pemeliharaan itu sendiri. Sungai lebih menjadi daerah belakang yang berfungsi menjadi tempat pembuangan sisa aktifitas manusia sambil sekaligus menjadi gantungan kehidupan masyarakat kota.
Hal ini diperparah dengan semakin rusaknya daerah penyangga kota dan hutan-hutan yang merupakan sumber air. Kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan sungai pun sangat rendah sehingga perlakuan terhadap sungai pun tidak mendukung kelangsungan keberadaan sungai yang berkualitas baik.
Sungai untuk Wisata Kota ?
Dengan kondisi sungai yang meng-khawatirkan, penataan kembali sungai dan daerah tepiannya untuk wisata kota memang bukan pekerjaan kecil. Namun sungai memiliki potensi yang multi dimensi sehingga pengembangan sungai untuk objek wisata kota tidak hanya semata-mata untuk alasan ekonomi saja, tapi juga akan mengubah cara memandang masyarakat kota akan keberadaan sungai yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas sungai yang melestarikannya.
Jansen-Verbeke (1986) mengelompokkan suplai wisata kota menjadi :
1. Elemen primer yang terdiri dari:
- Activity place, keseluruhan feature di dalam kota, terutama daya tarik utama
- Leisure setting, termasuk elemen fisik dalam lingkungan binaan dan karakter sosio-kultural
yang memberikan suatu citra kota yang kuat dan 'sense of place'.
2. Elemen sekunder terdiri dari :
Fasilitas pendukung dan jasa yang dikonsumsi selama kunjungan wisatawan (seperti hotel, katering, fasilitas perbelanjaan) yang membentuk pengalaman wisatawan akan ketersediaan jasa di kota yang bersangkutan.
3. Elemen tambahan/pendukung terdiri :
Infrastruktur yang mengkondisikan kunjungan seperti ketersediaan area parkir, transportasi, jasa-jasa khusus wisata (seperti pusat informasi wisata dan petunjuk jalan wisata).
Maka keberadaan sungai sangat berpotensi untuk menjadi elemen primer karena secara fisik sungai yang mengalir atau melalui sebuah kota memberikan suatu setting alam dan binaan dengan citra dan 'sense of place' yang kuat dan bisa menjadi titik tolak pengembangan wisata kota. Identitas kota pun akan secara jelas muncul. Istimewanya, sungai juga memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara kota dengan sungai itu sendiri sehingga dapat melibatkan masyarakat dalam aktifitas-aktifitas yang beragam.
Pengalaman beberapa kota mengembangkan daerah sisi sungainya untuk kegiatan wisata menimbulkan aktifitas ekonomi seperti perhotelan, rumah makan, perkantoran, pertokoan, dan perumahan. Kawasan Inner Harbar di Baltimore, Amerika Serikat seringkali dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari revitalisasi daerah pinggiran laut. Pembangunan yang merupakan kerjasama antara pemerintah dan swasta ini berhasil membuat suatu daerah pertokoan dengan warung-warung makanan, toko-toko khusus, galeri dan kafe yang dikunjungi terus menerus oleh ratusan pengunjung baik pengunjung lokal (masyarakat kota) maupun wisatawan dari luar kota, per hari selama 12 bulan per tahun tanpa mengenal musim kunjungan wisata.
Contoh lain adalah kota Bangkok yang bertahun-tahun harus menghadapi masalah polusi dan kekumuhan daerah pinggiran sungainya. Bangkok kemudian mulai membalik cara pandang dan menjadikan daerah pinggiran sungai sebagai aset. Sampan dan perahu mulai memenuhi kembali sungai dan sejalan dengan itu restoran, pertokoan, hotel, sehingga perumahan pun mulai tumbuh kembali. Dalam kasus seperti ini bisa saja elemen sekunder menurut Jansen-Verbeke ini menjadi elemen primer seperti dikatakan oleh Shan dan Williams (1989).
Selain Bangkok Singapura sebagai salah satu negara maju untuk kawasan ASEAN, ASIA bahkan dunia memanfaatkan sungai sebagai areal khusus untuk jalur lalu lintas air (River Taxi) ini pun sebagai alternative mengatasi crowded-nya lali lintas darat akibat perkembangan kepemilikan kendaraan.
Selain fungsi ekonomi seperi dicontohkan di atas, penataan daerah pinggiran sungai bisa juga dilakukan dengan tujuan lain seperti pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, sejarah dan lain-lain. Sungai Thames di London berhasil mengembalikan ikan salmon dan ikan-ikan lainnya dengan memperbaiki kualitas lingkungan air sungainya.
Aset lain yang tidak boleh dilupakan adalah kehidupan sosial dan budaya di sepanjang aliran sungai yang unik. Aliran sungai yang panjang memungkinkan terjadinya ekosistem. Budaya, cara hidup yang unik (L. Azeo Tore, 1989). Kota-kota tua di Indonesia pun banyak berkembang di pesisir pantai dan sungai berkembanga dengan karakter hetero-genetik. Kota-kota ini menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, tradisi budaya dan bahkan agama. Masyarakat yang tumbuh di daerah pesisir pantai dan tepian sungai pada saat itu pun kemudian berkembang dengan karakter yang kosmopolitan (Redfield dan Singer, 1954). Bahkan di daerah tertentu sungai sudah menjadi ciri kehidupan masyarakatnya. Sungai Musi dengan riverine culture-nya memperuntukkan daratan untuk penguasa dan perairan untuk rakyat.
Dari penjabaran di atas dapat dilihat beberapa pembangunan wisata kota dengan menjadikan sungai sebagai objek utama sangat berpotensi untuk meningkatkan citra khusus dari suatu kota. Begitu banyak aspek yang selama ini jarang diperhatikan dan terlupakan dalam pembangunan kota, seperti akar budaya lokal dan sejarah, yang dapat diangkat menjadi sesuatu yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga secara sosial, budaya, lingkungan bagi kalangan swasta, pemerintah, dan masyarakat kota tersebut. Rino Bruttomesson, Direktur dari The Cities on Water Centre, di Venesia, bahkan menggarisbawahi pentingnya originalitas dalam penanganan daerah tepian sungai . Menurutnya, penataan daerah tepian sungai sebaiknya tidak hanya diperuntukkan untuk dinikmati wisatawan saja, tapi juga untuk dinikmati masyarakat kota. Dengan demikian juga untuk dinikmati masyarakat kota. Dengan demikian masyarakat kota akan tumbuh rasa memiliki yang akan mendorong untuk merawat sungai dan kotanya.
Potensi Sungai Tondano …?
Sulawesi Utara sendiri memiliki banyak sungai yang membelah tiap-kota dan kabupaten kota. Tidak seperti di kota besar lainnya di Indonesia yang rata-rata sungainya sangat lebar dan memiliki potensi yang sungguh signifikan bagi masyarakat yang tinggal dipesisirnya, namun ada beberapa sungai yang bisa berpotensi memberikan kontribusi terhadap keindahan kota jika ditata atau dimanfaatkan dengan baik atau justru memperburuk wajah kota jika dibiarkan. Setidaknya ada tiga sungai yang bisa menunjukkan potensi wisata yang baik di Sulawesi Utara tanpa melupakan sungai kecil yang lain seperti : Sungai Ranoyapo, Sungai Poigar dan Sungai Tondano. Tiga sungai ini dikatakan berpotensi dikarenakan selain panjang, memiliki debit air yang cukup serta membelah langsung tengah kota / kabupaten, seperti halnya Sungai Tondano..
Sungai Tondano sendiri adalah sungai yang memiliki panjang 41,10 Km yang merupakan ketiga terpanjang sesudah sungai Ranoyapo (53,80Km) yang bermuara di teluk Amurang dan sungai Poigar (50,40Km). Sungai Tondano bermuara di kota Manado tepatnya di daerah pasar Bersehati manado yang dulunya dikenal dengan sebutan Pasar Jengky; sehingga muara dari DAS ini dikenal dengan sebutan Kuala Jengky. Posisi Sungai Tondano ini memanglah sangat strategis yaitu memotong tengah Kota Manado, sehingga ketika arah kemajuan pengembangan kota mulai ditata dan dikembangkan, maka tentunya keadaan sungai ini pula akan sangat menentukan keindahan kota.
Memang tidak bisa di pungkiri sejak beberapa tahun terakhir ini di mulai 30 nopember 2000 banjir besar yang hampir ¾ kota Manado terendam banjir serta tanah longsor. Dan hampir setiap dua tahunan kota manado selalu mengalami banjir walaupun tidak separah kota Jakarta. Namun ini tentunya memberikan peringatan bagi kita bahwa jika hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin sungai Tondano kelak akan memberikan bencana yang besar dikemudian hari jika tidak perhatikan.
Penataan kembali Sungai
Pembangunan kembali sungai sebagai objek wisata kota harus dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah, pengusaha swasta dan masyarakat. Dukungan yang kuat dari pemerintah daerah merupakan hal yang vital. Pemerintah harus bersiap untuk membiayai pembangunan infrastruktur tanpa akan mendapatkan pengembalian "modal" sampai bertahun-tahun kemudian. Bila kita kembali merujuk pada kerangka Jensen-Verbeke dapat dilihat bahwa elemen infrastruktur merupakan elemen integral dari pembangunan wisata kota. Ketidaktersediaan infrastruktur yang baik akan menyebabkan tidak bisa berkembangnya semua pembangunan fisik serta aktifitas wisata yang menyertainya. Pemerintah daerah harus terbuka pada ide-ide baru, mendorong kreatifitas, fleksible dan mau menciptakan suatu suasana kerja yang mengerti jiwa wirausaha dari para pengusaha tanpa melupakan fungsi sebagai penentu kebijakan. Kegiatan seperti lomba International desain pembangunan wisata di Sungai Musi yang merupakan kerjasama pemerintah daerah setempat dengan kalangan swasta dan akademis merupakan salah satu contoh usaha membuka pintu terhadap ide-ide segar.
Penataan daerah pinggiran dengan membangun bronjong untuk menahan tanah longsor serta kampanye kedasaran pada masyarakat Manado dan sekitarnya dengan pemasangan tanda larangan untuk tidak membuang sampah di sungai merupakan terobosan yang baik untuk kemajuan kota. Namun perlu juga dipikirkan ke depan pemanfaatan aliran airnya sebagai arena festival atraksi wisata yang pada kenyataannya lebih dirasakan lagi fungsi dan kegunaan Das ini yang pada akhirnya Masyarakat tentunya akan sadar menata daerah belakang ini serta bersama-sama menjaga kebersihan dan bukan tidak mungkin dikemudian hari daerah belakang ini akan menjadi daerah depan.
Das for Sport actraction
Karena melihat ukuran lebar sungai yang tidak seperti sungai-sungai yang ada di Kalimantan serta Sumatera yang lebar yang telah dijadikan sebagai jalur transportasi air, maka pemanfaatan ke depan DAS Tondano ini sebagai atraksi wisata yang arahnya lebih ke sport seperti festival kano dan kayak yang jika diagendakan bukan tidak mungkin kedepan menjadi Das untuk Sport Tourism.
Sebagai daerah yang sedang menggalakkan pariwisata, pengembangan daerah tepian sungai untuk wisata kota merupakan suatu alternatif yang dapat mengangkat potensi asli daerah untuk keuntungan semua pihak. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait menyatukan pikiran untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan berkelanjutan.
..,,..
Daftar Pustaka :
http://www.terranet.or.id
Halim, D.K. 2008. PSIKOLOGI LINGKUNGAN PEROTAAN . Sinar Grafika. Jakarta.
Ramly, Nadjamuddin. 2007. PARIWISATA BERWAWASAN LINGKUNGAN. Belajar Dari Kawasan Wisata Ancol. Grafindo Khazanah Ilmu. Surabaya
Wenas Jessy. 2007 Sejarah Dan Kebudayaan Minahasa, Institut Seni Budaya Sulawesi Utara-Manado