ISSN : 1978-452X

JURNAL EKOWISATA Memublikasisikan tulisan hasil-hasil penelitian dan pemikiran yang berhubungan kepariwisataan, sekaligus mendorong upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berkelanjutan.

Selasa, 12 April 2011

Metodologi Kajian Sumberdaya Mangrove untuk Tujuan Ekoturisme

Tommy M. Kontu
(Politeknik Negeri Manado)


Abstract
As one of the coastal area ecosystems, mangrove represents unique ecosystem but gristle. This ecosystem has economic and ecological function. It earn also developed as ecotourism area. But that way, need circumstantial study about existing resources, so that it can awake its continuity. In its relation with development of ecotourism, hence there are three especial aspects which needed to study in mangrove ecosystem: physical, biology, and social condition. Physical aspect cover wide of area, type of substrate, and ebb pattern. Biology aspect cover vegetation and biota-associated. While, social aspect concerning situation of society around area. Primary data collected direct on the field through Geographic Information System (GIS) and Remote Sensing, Observation, Survey, Sampling, Identify of Type, Unquote, and Interview techniques. Secondary Data obtained to through Literature research.

Kata kunci: mangrove, metodologi



Pendahuluan
Sejak menanjaknya tren ekowisata dalam perkembangan industri pariwisata dunia, sejak itu pula, sumberdaya alam dieksplorasi untuk mencari dan menemukan objek-objek ekowisata baru. Termasuk sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, berusaha dikembangkan untuk dijadikan kawasan atau objek ekowisata. Sebab diyakini bahwa sumberdaya pesisir dan laut sangat berpotensi dikembangkan sebagai objek ekowisata.
Eksplorasi sumberdaya pesisir dan laut untuk tujuan ekowisata, bertumpu pada pendekatan spesies, fisik, dan ekosistem. Pendekatan spesies artinya spesies-spesies eksklusif (langka, eksotik, endemik) dikemas sebagai objek ekowisata. Industri pariwisata mengolah keberadaan spesies-spesies endemik tersebut, menjadi produk wisata yang ditawarkan ke pasaran. Pendekatan fisik artinya kondisi fisik suatu kawasan pesisir dan laut yang dikemas sebagai objek wisata. Sedangkan pendekatan ekosistem artinya keberadaan ekosistem yang ditawarkan sebagai objek wisata.
Di pesisir wilayah tropis, dikenal ada tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove. Dengan pendekatan ekosistem, maka tiga ekosistem itulah yang selama ini dikembangkan sebagai kawasan-kawasan ekowisata. Kegiatan ekowisata di ekosistem terumbu karang telah berkembang sangat pesat. Banyak areal terumbu karang yang dikembangkan sebagai objek penyelaman atau dikenal sebagai wisata bawah-laut. Dan kegiatan wisata bawah-laut di terumbu karang masih menjadi tumpuan utama kegiatan ekowisata di wilayah pesisir dan laut. Ketika orang berbicara tentang wisata laut, pasti yang pertama dipikirkan adalah wisata diving, snorkling, atau wisata bawah-laut di areal terumbu karang.
Karena itu pula, tekanan terhadap ekosistem terumbu karang, dari hari ke hari, semakin meningkat. Meningkatnya aktivitas di kawasan terumbu karang, akibat tingginya kunjungan wisata ke areal tersebut, menyebabkan tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat pula. dalam Banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa tingginya aktivitas wisata di areal terumbu karang menyebabkan daya dukung kawasan tersebut menurun drastis. Sehingga esensi ekowisata sebagai perjalanan wisata yang benar-benar bertanggung jawab terhadap alam (Ceballos-Lascurain, 1996), dalam banyak hal menjadi kabur. Akibatnya, situasi seperti itu menjadi hubungan sebab-akibat yang saling merugikan. Aktivitas yang meningkat menyebabkan meningkatnya tekanan. Meningkatnya tekanan menyebabkan daya dukung menurun. Daya dukung menurun menyebabkan nilai kawasan menurun pula. Nilai kawasan yang menurun berdampak pada ‘nilai jual’ sebagai kawasan ekowisata.
Mencermati perkembangan tersebut, beberapa ahli menyarankan agar dilakukan penyebaran objek-objek tujuan wisata di kawasan pesisir tersebut. Kegiatan wisata hendaknya juga diarahkan ke ekosistem-ekosistem lain, diantaranya adalah ekosistem mangrove. Dengan demikian, tekanan terhadap terumbu karang dapat berkurang, sehingga ekosistem tersebut dapat melakukan recovery. Di samping itu, potensi sumberdaya di ekosistem lain, misalnya di mangrove, dapat berkembang dan dimanfaatkan dengan maksimal.

Ekosistem Mangrove dan Sumberdaya di Dalamnya
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik tapi rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan (Rochana, 2008).

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian, mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan, dan pada kondisi yang sesuai, mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum. Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1992). Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1992).
Secara lebih luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. (1983) dalam Anonim; buku elektronik (2008) mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :
1. Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove
2. Non-exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja
3. Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove
4. Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove.
Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.
Bentuk vegetasi dan komunitas mangrove terdiri dari 3 zone mangrove berdasarkan distribusi, karakteristik biologi, kadar garam dan intensitas penggenangan lahan yaitu vegetasi inti, marginal, dan fakultatif marginal.
Vegetasi Inti
Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora mangle. L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan Planchon (pelliceriaceae), Avicennia germinans L (Avicenniaceae) dan Laguncularia racemosa L. gaertn. (Combretaceae).
Vegetasi marginal
Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Jenis Conocarpus erecta (combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (triana), Duke (leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di semenanjung de osa, dimana mangrove ini berkembang dalam rawa musiman salin (25 promil). Jenis yang lain adalah Annona glabra L. (Annonaceae), Pterocarpus officinalis jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia spicata killip (Malvaceae). Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L. (Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zone air payau dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.
Vegetasi fakultatif marginal
Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana pengaruh iklim khatulistiwa semakin terasa, banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa. Jenis ini banyak digunakan untuk pembangunan oleh manusia.
Berdasarkan geomorfologi, maka hutan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut ( Anonim; buku elektronik, 2008):
Overwash mangrove forest
Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 m.
Fringe mangrove forest
Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 m.
Riverine mangrove forest
Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya rata- rata dapat mencapai 18-20 m.
Basin mangrove forest
Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai. Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 m.
Hammock forest
Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya jarang lebih dari 5 m.
Scrub or dwarf forest
Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas.

Metodologi Kajian Sumberdaya
Data dan Sumber Data
Dalam hubungannya dengan pengembangan ekoturisme, maka ada tiga aspek utama yang diperlukan untuk mengkaji sumberdaya di ekosistem mangrove. Tiga aspek utama tersebut adalah kondisi fisik, kondisi biologi, dan kondisi sosial. Kondisi fisik meliputi luas kawasan, jenis substrat, dan pola pasang surut. Kondisi biologi meliputi vegetasi dan biota berasosiasi. Sedangkan kondisi sosial menyangkut keadaan masyarakat sekitar kawasan dan pemanfaatan.
Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pengumpulan data yang dapat diterapkan, maka data-data dalam kajian sumberdaya mangrove dapat dibedakan atas data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung di lapangan melalui teknik-teknik Geografic Information System (GIS) dan Penginderaan Jauh (Inderaja), Observasi, Survei Lapangan, Pengambilan Sampel, Identifikasi Jenis, Angket, dan Wawancara. Data sekunder adalah data-data yang diperoleh melalui Penelusuran Literatur.
Keadaan sebenarnya di lapangan menjadi sumber utama pengumpulan data. Namun, sumber data dapat juga berupa institusi, misalnya lembaga, badan, atau kantor. Tabel 1 memperlihatkan contoh penentuan Jenis Data yang hendak diamati, dan Sumber Data yang dapat digunakan (band. Anonim, 2008):
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data
No. Jenis Data Sumber Keterangan
1. Citra Satelit Landsat Lapan Citra Satelit landsat 7 ETM+ dalam format digital liputan 2 tahun terakhir
2. Peta Dasar dan Peta Rupa Bumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 dalam format digital
3. Peta Tematik Departemen Kehutanan Vegetasi dan Zonasi, Pemanfaatan kawasan
4. Data Vegetasi dan Kondisi Biologi Lainnya Pemeriksanan Lapangan dengan intensitas sampling 0,3% Jenis mangrove dan biota-biota
5. Data Kondisi Sosial Lapangan, BPS, Kantor Desa Data Kependudukan, Ekonomi, dan Pemanfaatan Mangrove

Analisis Data
Cara menganalisis data, haruslah menggunakan metode-metode yang valid dan reliabel. Pada penelitian-penelitian tentang mangrove, terdapat beberapa metode analisis data yang sudah baku. Karena itu, dalam kajian sumberdaya mangrove untuk tujuan ekoturisme, tetap harus menggunakan metode-metode analisis yang baku tersebut. Tabel 2 menyajikan beberapa metode analisis data yang dapat digunakan.
Tabel 2. Metode Analisis Data
No. Data Metode Pengumpulan Metode Analisis
1. Kondisi Fisik GIS dan Inderaja
Observasi dan Survei Lapangan Interpretasi Image (Image Proccesing)
2. Kondisi Biologi Pengambilan Sampel
Identifikasi Jenis NDVI ( Normalized Difference Vegetation
Index)
Kerapatan
Kerapatan relatif
Frekuensi
Frekuensi relatif
Dominasi
Dominasi relatif
Indeks Nilai Penting
3. Kondisi Sosial Wawancara
Penelusuran Literatur
Observasi Scoring
SWOT

Penarikan Kesimpulan
Penting untuk diingat bahwa dalam hal ini, tujuan melakukan kajian terhadap sumberdaya mangrove adalah untuk menemukan kawasan-kawasan ekowisata baru. Karena itu, interpretasi data yang diperlukan ialah untuk dapat menarik kesimpulan tentang :
1) apakah ekosistem mangrove tersebut layak dikembangkan sebagai kawasan ekowisata,
2) sumberdaya apa yang dapat dijadikan ’maskot’ pengembangan sebagai kawasan ekowisata,
3) apa manfaat bagi keberlanjutan ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat setempat,
4) bagaimana pola dan peta pemanfaatan kawasan mangrove tersebut, bila hendak dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.


Penutup
Karena ekowisata bertumpu sepenuhnya pada keberadaan dan keberlanjutan suatu ekosistem, maka semua interpretasi data dalam menarik kesimpulan, haruslah diarahkan pada pertanyaan paling mendasar: ’apakah ekosistem mangrove akan tetap berlanjut, jika ekosistem itu dijadikan kawasan ekotourism”. Bila jawabannya: ”ya”, maka rekomendasi penelitian yang dapat diberikan adalah ’ekosistem mangrove tersebut sebaiknya dikembangkan sebagai kawasan ekowisata baru’.
Selanjutnya, tahap terpenting dari pemanfaatan mangrove sebagai kawasan ekowisata ialah penerapan dengan sungguh-sungguh semua hasil kajian sumberdaya. Misalnya saja, bila suatu titik direkomendasikan sebagai lokasi pengamatan saja, maka pada prakteknya haruslah ditetapkan dengan sungguh-sungguh bahwa kegiatan wisata yang dibolehkan di titik tersebut hanyalah pengamatan saja. Penerapan yang sungguh-sungguh kegiatan-kegiatan wisata yang diperkenankan, yang didasarkan pada hasil kajian sumberdaya, akan sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem tersebut.




Daftar Pustaka

Anonim, 2008. Ekologi Laut Tropis. Buku elektronik.
Anonim, 2008. Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Ceballos-Lascurain, H., 1996. Tourism, Ecotourism, and Protected Area. Gland, Switzerland:IUCN.
Kodhyat, H. 1998. Sejarah lahirnya Ekowisata di Indonesia. Makalah Workshop dan Pelatihan Ekowisata di Bali. Lembaga Studi Pariwisata Indonesia
Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rochana, E., 2008. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. Tulisan elektronik: www.irwantoshut.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar