Oktavianus Lintong
(Politeknik Negeri Manado)
Abstract
One of the coastal areas is very potential to be developed into ecotourism area in North Sulawesi, namely Arakan-Wawontulap Coast Region. Previous research states that a natural resource in this area is very potential to be developed for ecotourism purposes. However, what about the potential of local culture? Because, ecotourism rests on two main aspects, i.e. aspects of natural resources and local culture. And assessment of the potential of ecotourism in the region must be comprehensive, especially against these two major aspects: natural resources and local culture. Inventory of local culture is there are three components, namely culture attraction, local wisdom, and craft products. Cultural attractions are all kinds of performances and staging of cultural nuances. Local wisdom is all style, customs and way of life of local communities that are beneficial to nature, environment, and human civilization. Handicraft products are quality goods produced by working hand or simple tool by the community or small industry. This paper shows the results of an inventory of the three components of the local culture in the Arakan-Wawontulap Coast Region.
Kata kunci: budaya lokal, ekowisata, Pesisir Arakan-Wawontulap
Latar Belakang
Salah satu kawasan pesisir yang sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan ekowisata di Sulawesi Utara yaitu kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap. Pesisir Arakan-Wawontulap merupakan nama suatu kawasan konservasi, bagian dari Taman Nasional Bunaken (TNB), dan biasa disebut TNB Bagian Selatan. Di dalam kawasan ini terdapat sepuluh desa, yaitu Poopoh, Teling, Kumu, Pinasungkulan, Raprap, Arakan, Sondaken, Pungkol, Wawontulap, dan Popareng. Secara administratif termasuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten Minahasa dan Minahasa Selatan.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa sumberdaya alam di kawasan ini sangat potensial dikembangkan untuk tujuan ekowisata (Lintong, 2010). Menjadi pertanyaan selanjutnya: ”Bagaimana dengan potensi budaya lokal di kawasan ini?” Sebab, ekowisata bertumpu pada dua aspek utama, yaitu aspek sumberdaya alam dan budaya lokal. Dan penilaian potensi ekowisata di suatu kawasan haruslah dilakukan komprehensif, terutama terhadap dua aspek utama ini: sumberdaya alam dan budaya lokal.
Potensi ekowisata di suatu kawasan pesisir dapat dilihat dari dua sisi; yaitu: 1)potensi yang menguntungkan dari keberadaan yang sebenarnya dalam kawasan tersebut (existing), dan 2)potensi yang dapat menghambat pengembangan (constraint) (Priskin, 2001; Gunawan, 2004; Damanik dan Weber, 2006; Dahuri dkk., 2008; Lasut dkk., 2008). Sisi existing yang terutama adalah kondisi alam dan budaya. Tumpuan utama ekowisata adalah alam dan budaya, sehingga kondisi sebenarnya dari kedua aspek ini yang secara nyata ada di kawasan yang hendak dikembangkan, menjadi syarat mutlak pengembangan ekowisata. Tingkat keragaman atraksi alam dan budaya di suatu kawasan, menjadi potensi ekowisata yang paling diperhitungkan (Priskin, 2001). Konsep ekowisata menyaratkan sisi existing ini tidak bisa diubah atau direkayasa (Damanik dan Weber, 2006).
Pengertian ‘lokal’ dalam terminologi Budaya Lokal, dalam hal ini merujuk pada wilayah, bukan pada kelompok etnis. Kuntowijoyo (2006) dan Ranjabar (2006) mengungkapkan bahwa definisi budaya lokal bisa saja merujuk pada etnis tertentu, atau pada suatu wilayah tertentu. Bila merujuk pada etnis tertentu, berarti menyangkut satu etnis saja, misalnya budaya Minahasa atau budaya Sunda. Jika merujuk pada suatu wilayah, berarti menyangkut masyarakat yang hidup dalam suatu batasan wilayah. Masyarakat dalam suatu wilayah bisa saja terdiri dari satu etnis, lebih dari satu, atau banyak etnis, misalnya budaya kawasan pesisir Arakan-Wawontulap.
Inventarisasi budaya lokal dilakukan terdapat tiga komponen, yaitu aktraksi budaya, kearifan lokal, dan produk kerajinan. Budaya lokal, bersama dengan sumberdaya alam, merupakan aspek utama pengembangan ekowisata. Aktraksi budaya, kearifan lokal, dan produk kerajinan merupakan komponen-komponen budaya lokal yang bisa dikembangkan menjadi produk dan aset utama dari suatu industri ekowisata, berdampingan dengan komponen-komponen sumberdaya alam (Damanik dan Weber, 2002). Atraksi budaya adalah semua jenis pertunjukan dan pementasan yang bernuansa budaya. Kearifan lokal adalah semua gaya, kebiasaan, dan cara hidup masyarakat lokal yang memberi manfaat terhadap alam, lingkungan hidup, dan peradaban manusia. Produk kerajinan adalah barang bermutu yang dihasilkan melalui pengerjaan tangan atau alat sederhana oleh masyarakat atau industri kecil.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi potensi budaya lokal masyarakat di kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap dalam rangka pengembangan kawasan ini sebagai kawasan ekowisata. Hasil inventarisasi diharapkan menjadi informasi ilmiah, melengkapi hasil penelitian sebelumnya tentang potensi sumberdaya alam, yang dapat menjadi rujukan bagi semua stakeholders dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap, Juni sampai Agustus 2010. Pengumpulan data menggunakan metode Wawancara, Dokumentasi, dan Observasi. Data yang terkumpul, dianalisis secara Deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Hasil inventarisasi budaya lokal di kawasan pesisir Arakan-Wawontulap, diperlihatkan secara umum pada Tabel 1.
Tabel 1. Keragaman Budaya Lokal di Kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap
No. Bentuk Keragaman Nama Penjelasan
1. Atraksi Budaya
1) Tarian Masamper Tarian khas etnis Sangihe yang berkaitan dengan upacara adat ungkapan syukur kepada Pencipta.
Maengket Tarian khas etnis Minahasa yang berhubungan dengan upacara adat panen, syukur menempati rumah baru, membuka lahan pertanian baru, dan syukur lainnya.
Kabasaran Tarian khas etnis Minahasa yang menggambarkan kegagahan prajurit perang Minahasa.
2) Tradisi Tulude Upacara adat etnis Sangihe untuk menyatakan syukur atas penyertaan Tuhan selama setahun yang telah lewat dan memohon pertolongan Tuhan untuk tahun yang akan datang.
Pengucapan Syukur Tradisi mengucap syukur kepada Tuhan atas hasil panen dan kerja dalam setahun. Masyarakat beribadah dan membawa hasil panen ke Gereja, sesudah itu menggelar acara makan-minum bersama kerabat dan kenalan. Biasanya digelar pada bulan Juni-Juli, dan jalan di kawasan ini menjadi sangat macet karena dipenuhi orang-orang yang hendak berkunjung ke kerabat atau kenalannya.
Mandi Safar Mandi beramai-ramai di pantai selama seharian penuh. Digelar pada bulan Safar (bulan ke-2 dalam kalender Hijriah).
2. Kearifan Lokal Bulan 15 Pada bulan inilah diijinkan melihat Dugong dari dekat, sedekat yang bisa dilakukan. Selain pada bulan ini tidak diperkenankan.
Pante Tuturuga Suatu lokasi di pantai yang dikhususkan untuk Penyu bertelur. Lokasi ini tak boleh diganggu, karena diyakini akan mempengaruhi hasil tangkapan di laut.
Goso Blanga Pelarangan membersihkan alat-alat dapur di pantai. Jika ketahuan akan dikenakan sanksi adat dan harus dilakukan prosesi penghapusan, agar tidak terjadi ombak besar yang dapat merusak pemukiman penduduk.
3. Produk Kerajinan Sisik Ikan Sisik ikan tidak dibuang, tapi diolah menjadi berbagai bentuk kerajinan, seperti miniatur kapal, boneka tarsius, dan sebagainya.
1. Atraksi Budaya
Atraksi-atraksi budaya yang pernah dan masih ada, umumnya berkaitan dengan etnis dan agama yang dianut masyarakat. Struktur masyarakat di kawasan Arakan-Wawontulap didominasi oleh dua etnis yaitu Nusa Utara dan Minahasa (Gambar 1), karena itu masyarakat membentuk kelompok-kelompok tarian yang berkaitan dengan budaya etnis tersebut. Hampir di semua desa terdapat kelompok tarian Masamper, meskipun hanya beberapa kelompok saja yang eksis. Di desa Kumu pernah ada kelompok penari Maengket dan Kabasaran, namun sekarang tidak aktif lagi seiring dengan semakin minim kegiatan perlombaan dan iven yang memerlukan pertunjukan tarian ini. Di kawasan ini pernah pula dilaksanakan tradisi Tulude, yaitu suatu upacara adat etnis Sangihe yang berkaitan dengan ungkapan syukur atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan selama setahun dan memohon penyertaan Tuhan untuk tahun yang akan datang.
Sebagian besar masyarakat di kawasan ini menganut agama Kristen, karena itu tradisi yang menonjol dan rutin dilakukan masyarakat di kawasan ini adalah Pengucapan Syukur. Tradisi ini difasilitasi sepenuhnya oleh Gereja dan Pemerintah. Biasanya dilaksanakan sekitar bulan Juni atau Juli setiap tahun. Di desa Arakan, banyak dihuni oleh masyarakat yang beragaman Islam, sebab itu ada satu tradisi yang dikembangkan masyarakat disini berkaitan dengan Islam yaitu Mandi Safar. Namun demikian, tradisi-tradisi ini bukan merupakan tradisi khas, karena Pengucapan Syukur dan Mandi Safar juga bisa disaksikan di tempat-tempat lain.
2. Kearifan Lokal
Setidaknya ada 3 bentuk kearifan lokal yang dapat digali dari kehidupan masyarakat pesisir Arakan-Wawontulap. Bentuk-bentuk kearifan ini sangat erat hubungannya dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam. Bulan 15 merupakan bulan yang ditetapkan untuk melihat Dugong. Biasanya melihat dugong dilakukan beramai-ramai. Masyarakat berkumpul di pantai dan menyaksikan Dugong beraktivitas di hamparan lamun dan tepian mangrove. Selain bulan 15, di banyak tempat juga menetapkan saat bulan mati juga sebagai waktu melihat Dugong. Setelah bulan 15 lewat, masyarakat tidak diperkenankan lagi melihat Dugong, apalagi mengganggunya, meskipun terlihat beraktivitas di dekat pantai. Namun kearifan ini tidak diterapkan lagi di masyarakat, sebab saat ini mengamati Dugong harus sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Balai Taman Nasional Bunaken.
Di beberapa lokasi pantai, ditetapkan masyarakat sebagai lokasi khusus Penyu. Biasanya lokasi itu ditetapkan karena diketahui sebagai tempat Penyu bertelur. Masyarakat lokal biasa menyebut lokasi-lokasi ini dengan sebutan ‘pante tuturuga’. Pante tuturuga tidak akan pernah diganggu karena diyakini bahwa jika diganggu maka hasil tangkapan ikan akan sangat menurun. Dulu di kawasan pesisir Arakan-Wawontulap, masih terdapat beberapa lokasi pante tuturuga, tapi sekarang yang diketahui hanya tersisa dua lokasi saja, yaitu di pantai Arakan dan Tanjung Kilat.
Tempo dulu, masyarakat kawasan ini mengenal istilah ‘goso blanga’. Istilah ini merujuk pada suatu pelarangan membersihkan alat-alat dapur di pantai, sebab diyakini jika mengotori pantai akan menyebabkan ombak besar yang bisa merusak pemukiman warga. Sebenarnya dengan budaya ini dapat diartikan bahwa masyarakat sejak dulu berusaha menjaga kebersihan pantai dan laut.
3. Produk Kerajinan
Sampai saat ini, masih ada satu produk kerajinan yang tetap dikerjakan masyarakat di pesisir Arakan-Wawontulap. Produk kerajinan tersebut yakni pembuatan berbagai bentuk kerajinan yang terbuat dari sisik ikan. Ibu-ibu di desa Arakan masih terlihat membuat miniatur perahu, rumah adat, boneka tarsius, boneka ikan, dan sebagainya dari sisik-sisik ikan yang telah dikeringkan, meskipun pembuatannya tergantung adanya permintaan atau jika ada pameran saja. Beberapa bentuk kerajian lain, misalnya sovenir dari tempurung kelapa dan kerang, diketahui pernah dikerjakan masyarakat, tetapi saat ini tidak ada lagi.
Kesimpulan dan Saran
1. Atraksi budaya masyarakat Pesisir Arakan-Wawontulap yang pernah dan masih ditampilkan: tarian Masamper, Maengket dan Kabasaran; tradisi Tulude, Pengucapan Syukur, dan Mandi Safar.
2. Kearifan lokal yang berhasil diinventarisasi ialah Bulan 15, Pante Tuturuga, dan Goso Blanga.
3. Produk kerajinan yang diketahui pernah dikerjakan masyarakat ialah Kerajinan Sisik Ikan.
4. Beragam budaya lokal masyarakat Pesisir Arakan-Wawontulap belum sepenuhnya berhasil terinventarisasi, masih perlu digali dan dikembangkan lebih dalam lagi, karena itu disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Daftar Pustaka
Bakosurtanal, 2010. Peta Provinsi Sulawesi Utara. Layanan Peta Digital.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu, 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Damanik, J. dan H. F. Weber, 2006. Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi. Pusat Studi Pariwisata UGM & Penerbit Andi, Yokyakarta.
Gunawan, W. 2004. Strategi Pengembangan Ekowisata. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Ekowisata di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Lasut, M. T., K. R. Jensen dan G. Shivakoti, 2008. Analysis of constraints and potentials for wastewater management in the coastal city of Manado, North Sulawesi, Indonesia. Journal of Environment Management 88 (2008) 1141-1150 pp.
Lintong, O. 2010. Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Arakan-Wawontulap untuk Pengembangan Ekowisata. Artikel. Jurnal Ekowisata, Edisi X-Juli 2010. ISSN 1978-452X. Politeknik Negeri Manado.
Kuntowijoyo, 2006. Budaya dan Masyarakat. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Priskin, J. 2001. Assessment of Natural Resources forNature-based Tourism: The Case of The Central Coast Region of Western Australia. Tourism Management Journal, 22 (2001) 634-648 pp.
Ranjabar, J. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Penerbit Ghalia, Bogor.
bagus artikelnya, tajam dan berbeda. minta ya untuk rujukan refrensi tugas. trimakasih
BalasHapus