ISSN : 1978-452X
JURNAL EKOWISATA Memublikasisikan tulisan hasil-hasil penelitian dan pemikiran yang berhubungan kepariwisataan, sekaligus mendorong upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berkelanjutan.
Kamis, 03 Maret 2011
POTENSI DAS TONDANO DALAM PENGEMBANGAN WISATA KOTA MANADO
By
Benny I Towoliu, SE & Pearl L. Wenas, SE, MSi
( Dosen Pada Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Manado Telp 081340034007-085256940600 )
Abstract
Tondano river is one of three the longest river in north Sulawesi ,it is 41.10km. The river is started flow from Tondano lake until Manado beach. Even the name is Tondano River that is taken from capital city of Minahasa region, but the that position is very potential in Manado. Its located too strategic, across in the midle of Manado city. Surely beautiful city will be influenced of coastal area. As city that declare tourism is priority program, development of coastal river for tourism city is the alternative to establish local potential unique toward benefit of stake holders.
Keyword ; Tondano river and tourism city.
Dalam beberapa tahun terakhir kota-kota besar di dunia mulai meraih kembali sungai untuk objek wisata kota. Hal ini juga didorong oleh kecenderungan pergeseran dari ekonomi yang mengandalkan kegiatan manufaktur ke ekonomi yang mengandalkan kegiatan informasi dan jasa seperti pariwisata.
Indonesia, yang memiliki banyak kota sungai, sebenarnya mencanangkan pariwisata untuk menjadi penghasil devisa terbesar. Namun pengembangan wisata kota belum banyak berkembang karena pembangunan dan pengembangan kota sendiri biasanya sudah dibebani dengan berbagai permasalahan yang rumit seperti tingginya populasi, perumahan kumuh, penyediaan lapangan kerja dan lainnya.
Keberadaan sungai-sungai di Indonesia tetap memegang peranan sangat penting dalam kehidupan kota masa kini. Sebagai contohnya, Kota Samarinda dengan Sungai Mahakam serta Palembang dengan Sungai Musi
Sungai tersebut tentunya memberikan beragam kepentingan, seperti air bersih, pembangkit listrik, irigasi, rekreasi bahkan untuk tempat pembangunan limbah. Dengan pertumbuhan kota yang cepat dan populasi penduduk yang terus meningkat, pengalokasian penggunaan air untuk pertanian, industri, persediaan air perkotaan dan sanitasi, perikanan, navigasi dan transportasi, pembangkit tenaga listrik, pelestarian lingkungan, dan rekreasi menjadi semakin pelik karena terbatasnya sumber air dan meningkatnya polusi.
Ironisnya, peranan vital sungai seringkali tidak tercermin dalam pemeliharaan itu sendiri. Sungai lebih menjadi daerah belakang yang berfungsi menjadi tempat pembuangan sisa aktifitas manusia sambil sekaligus menjadi gantungan kehidupan masyarakat kota.
Hal ini diperparah dengan semakin rusaknya daerah penyangga kota dan hutan-hutan yang merupakan sumber air. Kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan sungai pun sangat rendah sehingga perlakuan terhadap sungai pun tidak mendukung kelangsungan keberadaan sungai yang berkualitas baik.
Sungai untuk Wisata Kota ?
Dengan kondisi sungai yang meng-khawatirkan, penataan kembali sungai dan daerah tepiannya untuk wisata kota memang bukan pekerjaan kecil. Namun sungai memiliki potensi yang multi dimensi sehingga pengembangan sungai untuk objek wisata kota tidak hanya semata-mata untuk alasan ekonomi saja, tapi juga akan mengubah cara memandang masyarakat kota akan keberadaan sungai yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas sungai yang melestarikannya.
Jansen-Verbeke (1986) mengelompokkan suplai wisata kota menjadi :
1. Elemen primer yang terdiri dari:
- Activity place, keseluruhan feature di dalam kota, terutama daya tarik utama
- Leisure setting, termasuk elemen fisik dalam lingkungan binaan dan karakter sosio-kultural
yang memberikan suatu citra kota yang kuat dan 'sense of place'.
2. Elemen sekunder terdiri dari :
Fasilitas pendukung dan jasa yang dikonsumsi selama kunjungan wisatawan (seperti hotel, katering, fasilitas perbelanjaan) yang membentuk pengalaman wisatawan akan ketersediaan jasa di kota yang bersangkutan.
3. Elemen tambahan/pendukung terdiri :
Infrastruktur yang mengkondisikan kunjungan seperti ketersediaan area parkir, transportasi, jasa-jasa khusus wisata (seperti pusat informasi wisata dan petunjuk jalan wisata).
Maka keberadaan sungai sangat berpotensi untuk menjadi elemen primer karena secara fisik sungai yang mengalir atau melalui sebuah kota memberikan suatu setting alam dan binaan dengan citra dan 'sense of place' yang kuat dan bisa menjadi titik tolak pengembangan wisata kota. Identitas kota pun akan secara jelas muncul. Istimewanya, sungai juga memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara kota dengan sungai itu sendiri sehingga dapat melibatkan masyarakat dalam aktifitas-aktifitas yang beragam.
Pengalaman beberapa kota mengembangkan daerah sisi sungainya untuk kegiatan wisata menimbulkan aktifitas ekonomi seperti perhotelan, rumah makan, perkantoran, pertokoan, dan perumahan. Kawasan Inner Harbar di Baltimore, Amerika Serikat seringkali dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari revitalisasi daerah pinggiran laut. Pembangunan yang merupakan kerjasama antara pemerintah dan swasta ini berhasil membuat suatu daerah pertokoan dengan warung-warung makanan, toko-toko khusus, galeri dan kafe yang dikunjungi terus menerus oleh ratusan pengunjung baik pengunjung lokal (masyarakat kota) maupun wisatawan dari luar kota, per hari selama 12 bulan per tahun tanpa mengenal musim kunjungan wisata.
Contoh lain adalah kota Bangkok yang bertahun-tahun harus menghadapi masalah polusi dan kekumuhan daerah pinggiran sungainya. Bangkok kemudian mulai membalik cara pandang dan menjadikan daerah pinggiran sungai sebagai aset. Sampan dan perahu mulai memenuhi kembali sungai dan sejalan dengan itu restoran, pertokoan, hotel, sehingga perumahan pun mulai tumbuh kembali. Dalam kasus seperti ini bisa saja elemen sekunder menurut Jansen-Verbeke ini menjadi elemen primer seperti dikatakan oleh Shan dan Williams (1989).
Selain Bangkok Singapura sebagai salah satu negara maju untuk kawasan ASEAN, ASIA bahkan dunia memanfaatkan sungai sebagai areal khusus untuk jalur lalu lintas air (River Taxi) ini pun sebagai alternative mengatasi crowded-nya lali lintas darat akibat perkembangan kepemilikan kendaraan.
Selain fungsi ekonomi seperi dicontohkan di atas, penataan daerah pinggiran sungai bisa juga dilakukan dengan tujuan lain seperti pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, sejarah dan lain-lain. Sungai Thames di London berhasil mengembalikan ikan salmon dan ikan-ikan lainnya dengan memperbaiki kualitas lingkungan air sungainya.
Aset lain yang tidak boleh dilupakan adalah kehidupan sosial dan budaya di sepanjang aliran sungai yang unik. Aliran sungai yang panjang memungkinkan terjadinya ekosistem. Budaya, cara hidup yang unik (L. Azeo Tore, 1989). Kota-kota tua di Indonesia pun banyak berkembang di pesisir pantai dan sungai berkembanga dengan karakter hetero-genetik. Kota-kota ini menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, tradisi budaya dan bahkan agama. Masyarakat yang tumbuh di daerah pesisir pantai dan tepian sungai pada saat itu pun kemudian berkembang dengan karakter yang kosmopolitan (Redfield dan Singer, 1954). Bahkan di daerah tertentu sungai sudah menjadi ciri kehidupan masyarakatnya. Sungai Musi dengan riverine culture-nya memperuntukkan daratan untuk penguasa dan perairan untuk rakyat.
Dari penjabaran di atas dapat dilihat beberapa pembangunan wisata kota dengan menjadikan sungai sebagai objek utama sangat berpotensi untuk meningkatkan citra khusus dari suatu kota. Begitu banyak aspek yang selama ini jarang diperhatikan dan terlupakan dalam pembangunan kota, seperti akar budaya lokal dan sejarah, yang dapat diangkat menjadi sesuatu yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga secara sosial, budaya, lingkungan bagi kalangan swasta, pemerintah, dan masyarakat kota tersebut. Rino Bruttomesson, Direktur dari The Cities on Water Centre, di Venesia, bahkan menggarisbawahi pentingnya originalitas dalam penanganan daerah tepian sungai . Menurutnya, penataan daerah tepian sungai sebaiknya tidak hanya diperuntukkan untuk dinikmati wisatawan saja, tapi juga untuk dinikmati masyarakat kota. Dengan demikian juga untuk dinikmati masyarakat kota. Dengan demikian masyarakat kota akan tumbuh rasa memiliki yang akan mendorong untuk merawat sungai dan kotanya.
Potensi Sungai Tondano …?
Sulawesi Utara sendiri memiliki banyak sungai yang membelah tiap-kota dan kabupaten kota. Tidak seperti di kota besar lainnya di Indonesia yang rata-rata sungainya sangat lebar dan memiliki potensi yang sungguh signifikan bagi masyarakat yang tinggal dipesisirnya, namun ada beberapa sungai yang bisa berpotensi memberikan kontribusi terhadap keindahan kota jika ditata atau dimanfaatkan dengan baik atau justru memperburuk wajah kota jika dibiarkan. Setidaknya ada tiga sungai yang bisa menunjukkan potensi wisata yang baik di Sulawesi Utara tanpa melupakan sungai kecil yang lain seperti : Sungai Ranoyapo, Sungai Poigar dan Sungai Tondano. Tiga sungai ini dikatakan berpotensi dikarenakan selain panjang, memiliki debit air yang cukup serta membelah langsung tengah kota / kabupaten, seperti halnya Sungai Tondano..
Sungai Tondano sendiri adalah sungai yang memiliki panjang 41,10 Km yang merupakan ketiga terpanjang sesudah sungai Ranoyapo (53,80Km) yang bermuara di teluk Amurang dan sungai Poigar (50,40Km). Sungai Tondano bermuara di kota Manado tepatnya di daerah pasar Bersehati manado yang dulunya dikenal dengan sebutan Pasar Jengky; sehingga muara dari DAS ini dikenal dengan sebutan Kuala Jengky. Posisi Sungai Tondano ini memanglah sangat strategis yaitu memotong tengah Kota Manado, sehingga ketika arah kemajuan pengembangan kota mulai ditata dan dikembangkan, maka tentunya keadaan sungai ini pula akan sangat menentukan keindahan kota.
Memang tidak bisa di pungkiri sejak beberapa tahun terakhir ini di mulai 30 nopember 2000 banjir besar yang hampir ¾ kota Manado terendam banjir serta tanah longsor. Dan hampir setiap dua tahunan kota manado selalu mengalami banjir walaupun tidak separah kota Jakarta. Namun ini tentunya memberikan peringatan bagi kita bahwa jika hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin sungai Tondano kelak akan memberikan bencana yang besar dikemudian hari jika tidak perhatikan.
Penataan kembali Sungai
Pembangunan kembali sungai sebagai objek wisata kota harus dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah, pengusaha swasta dan masyarakat. Dukungan yang kuat dari pemerintah daerah merupakan hal yang vital. Pemerintah harus bersiap untuk membiayai pembangunan infrastruktur tanpa akan mendapatkan pengembalian "modal" sampai bertahun-tahun kemudian. Bila kita kembali merujuk pada kerangka Jensen-Verbeke dapat dilihat bahwa elemen infrastruktur merupakan elemen integral dari pembangunan wisata kota. Ketidaktersediaan infrastruktur yang baik akan menyebabkan tidak bisa berkembangnya semua pembangunan fisik serta aktifitas wisata yang menyertainya. Pemerintah daerah harus terbuka pada ide-ide baru, mendorong kreatifitas, fleksible dan mau menciptakan suatu suasana kerja yang mengerti jiwa wirausaha dari para pengusaha tanpa melupakan fungsi sebagai penentu kebijakan. Kegiatan seperti lomba International desain pembangunan wisata di Sungai Musi yang merupakan kerjasama pemerintah daerah setempat dengan kalangan swasta dan akademis merupakan salah satu contoh usaha membuka pintu terhadap ide-ide segar.
Penataan daerah pinggiran dengan membangun bronjong untuk menahan tanah longsor serta kampanye kedasaran pada masyarakat Manado dan sekitarnya dengan pemasangan tanda larangan untuk tidak membuang sampah di sungai merupakan terobosan yang baik untuk kemajuan kota. Namun perlu juga dipikirkan ke depan pemanfaatan aliran airnya sebagai arena festival atraksi wisata yang pada kenyataannya lebih dirasakan lagi fungsi dan kegunaan Das ini yang pada akhirnya Masyarakat tentunya akan sadar menata daerah belakang ini serta bersama-sama menjaga kebersihan dan bukan tidak mungkin dikemudian hari daerah belakang ini akan menjadi daerah depan.
Das for Sport actraction
Karena melihat ukuran lebar sungai yang tidak seperti sungai-sungai yang ada di Kalimantan serta Sumatera yang lebar yang telah dijadikan sebagai jalur transportasi air, maka pemanfaatan ke depan DAS Tondano ini sebagai atraksi wisata yang arahnya lebih ke sport seperti festival kano dan kayak yang jika diagendakan bukan tidak mungkin kedepan menjadi Das untuk Sport Tourism.
Sebagai daerah yang sedang menggalakkan pariwisata, pengembangan daerah tepian sungai untuk wisata kota merupakan suatu alternatif yang dapat mengangkat potensi asli daerah untuk keuntungan semua pihak. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait menyatukan pikiran untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan berkelanjutan.
..,,..
Daftar Pustaka :
http://www.terranet.or.id
Halim, D.K. 2008. PSIKOLOGI LINGKUNGAN PEROTAAN . Sinar Grafika. Jakarta.
Ramly, Nadjamuddin. 2007. PARIWISATA BERWAWASAN LINGKUNGAN. Belajar Dari Kawasan Wisata Ancol. Grafindo Khazanah Ilmu. Surabaya
Wenas Jessy. 2007 Sejarah Dan Kebudayaan Minahasa, Institut Seni Budaya Sulawesi Utara-Manado
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN
Barno Sungkowo
(Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Manado)
Abstract
The rapid development of tourism has also simultaneously cause unwanted changes in natural resources, environment and local communities. Negative impacts often appear as a continued impact of tourism development that is not planned properly and correctly. For that, tourism planning is very important in the development and success of tourism as well as to minimize negative impacts or problems that will arise. With good planning for tourism, tourism development is expected to be useful for improving human welfare and environmental sustainability.
PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan salah satu sektor penunjang pembangunan nasional yang mengalami pertumbuhan tercepat dan pesat di dunia. Berdasarkan pusat data internasional Departemen. Pariwisata dan Kebudayaan 2006 dalam Nirwandar (2006), pariwisata internasional pada tahun 2004 mencapai kondisi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 763 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar US$ 623 miliar. Sebagai sektor penunjang pembangunan nasional, pariwisata berfungsi meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti devisa negara, menumbuhkan banyak peluang ekonomi skala kecil dan menengah, pencipta lapangan kerja, sebagai katalis untuk pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti perikanan, pertanian kehutanan dan manucfacturing, serta dapat meningkatkan upaya menjaga dan memperbaiki lingkungan.
Perkembangan pariwisata yang pesat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya aksessibilitas berupa transportasi udara yang memberikan kemudahan antar negara serta adanya kecenderungan wisatawan untuk mengunjungi destinasi yang masih alami, bebas polusi dan kerusakan sumberdaya alam (Gunn, 1994). Menurut Mathieson dan Wall 1982 dalam Gunn 1994, pariwisata adalah perpindahan atau perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan.
Perkembangan pariwisata yang sangat pesat secara bersamaan juga telah menimbulkan perubahan yang tidak diinginkan pada sumberdaya alam, lingkungan dan masyarakat lokal misalnya pembukaan kawasan yang tidak efisien, pembangunan jalur transportasi yang tidak efisien, perubahan sosial budaya masyarakat dan lain-lain. Dampak negatif tersebut sering muncul sebagai dampak lanjutan dari pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan secara tepat dan benar. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Smith (1992) dalam Gunn (1994). Menurut Mangkudilaga (2001), pencemaran pantai, erosi dan kerusakan pantai, gangguan budaya, dan dominasi wisatawan pada areal pantai adalah beberapa perubahan yang terjadi pada pengembangan pariwisata di pantai tropis yang tidak terencana. Pariwisata sebagai industri harus benar-benar mempunyai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik, sehingga dampak negatif dari pariwisata dapat ditoleransi (Mangkudilaga, 2000). Menurut Inskeep (1991), perencanaan pariwisata (planning for tourism) adalah penting untuk perkembangan dan keberhasilan pariwisata serta dapat meminimalisasi dampak negatif atau problem yang akan muncul. Kenyataan tersebut merupakan satu tantangan yang dihadapi para stakeholder yang berkeinginan untuk mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan.
PERENCANAAN WISATA
Perkembangan atau pembangunan pariwisata disebabkan karena bermacam-macam alasan (various reasons), namum tujuan utamanya menurut Mangkudilaga (2000) adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti pertukaran uang (foreign exchange) untuk pariwisata internasional, meningkatkan pendapatan (income), pekerjaan (employment) dan pendapatan pemerintah. Selain itu pariwisata juga sebagai katalisator untuk perkembangan sektor ekonomi lain seperti pertanian, perikanan, kehutanan dan manucfacturing serta berguna meningkatkan kebutuhan ekonomi masyarakat (community). Pariwisata juga dapat melindungi/menjaga (conservation) sumberdaya yaitu lingkungan dan budaya (cultural heritage). Umumnya pariwisata mencakup rekreasi (recreational), budaya, fasilitas komersil dan jasa untuk digunakan oleh wisatawan dan juga masyarakat dimana tanpa unsur-unsur tersebut pariwisata mungkin tidak bisa berkembang. (Sekartjakrarini, 2004). Pariwisata juga mencakup unsur pendidikan (education), dimana pembelajaran lingkungan dan budaya sebagai milik dunia (own national heritage) serta perbedaan ideologi dan politik.
Bagaimanapun pariwisata dapat juga menimbulkan bermacam-macam problem seperti kehilangan/kerugian keuntungan ekonomi (the loss of potential economic benefits), penyimpangan (distortion) ekonomi lokal, degradasi lingkungan, kehilangan identitas dan integritas budaya, kurang pemahaman budaya (cross-cultural misunderstandings) dan problem lainnya. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan benefits dari tourism dan mencegah (prevent or mitigate) problem yang dapat muncul maka perencanaan dan manajemen pariwisata merupakan hal essential (penting) dilakukan (Inskeep, 1991). Umumnya planning for tourism sangat penting mencakup planning untuk tipe-tipe pembangunan untuk kesuksesn tourism dan mencegah munculnya problem. Tujuan tourism dapat diperoleh/dicapai lebih efektif jika direncanakan secara hati-hati (carefully) dan diintegrasikan kedalam rencana dan program pembangunan negara atau daerah (the country’s total development plan and program).
Tujuan Perencanaan Wisata
Inskeep (1991), menyatakan secara khusus tourism planning sangat diperlukan karena alasan-alasan sebagai berikut:
o Aktifitas pariwisata modern secara relatif masih merupakan jenis baru (new type) di banyak area, beberapa pemerintahan dan private sector atau kurang berpengalaman dalam mengembangkan pariwisata. Tourism planning dan program pembangunan dapat memberikan/merupakan petunjuk untuk pembangunan/perkembangan pariwisata.
o Pariwisata merupakan sektor yang kompleks (complicated), multisektoral, dan fragmented activity meliputi sektor lain seperti pertanian, perikanan dan manucfacturing, sejarah, taman (park) dan rekriasi utama, fasilitas dan layanana masyarakat, transportasi dan infrastruktur lainnya. Koordinasi perencanaan dan proyek pembangunan adalah penting untuk menjamin/memastikan bahwa semua elemen yang dikembangkan diintegrasikan untuk menyediakan kebutuhan umum (general needs) tourism.
o Pariwisata secara essensial harus menjual suatu produk pengalaman khusus yang digunakan wisatawan terdiri dari fasilitas dan jasa, yang harus disesuaikan antara pasar wisatawan (tourist market) dan produk meskipun tanpa proses perencanaan namun harus disesuaikan/persetujuan (compromising) antara tujuan lingkungan dan sociocultural pada permintaan pada (market demand).
o Tourism dapat memberikan economic benefits baik secara langsung dan tidak langsung yang dapat dioptimalkan melalui perencanaan yang hati-hati (careful) dan terintegrasi. Tanpa planning benefits mungkin tidak optimal dan menimbulkan problem ekonomi.
o Tourism dapat menimbulkan berbagai sociocultural benefits dan problems. Planning dapat digunakan sebagai proses untuk mengoptimalkan keuntungan dan mencegah atau memperkecil/mengurangi (lessening) problem dan khususnya menentukan kebijakan pengembangan tourism yang baik untuk menghindari sociocultural problem dan pemanfaatan/penggunaan tourism sebagai pencapaian tujuan konservasi budaya.
o Pembangunan atraksi, fasilitas dan infrastruktur dan perpindahan turis umumnya memberikan dampak positif dan negatif pada lingkungan fisik. Planning yang hati-hati diperlukan untuk menentukan tipe optimun dan level tourism yang tidak akan menghasilkan degradasi lingkungan dan pemanfaatan/penggunaan tourism sebagai pencapaian tujuan konservasi lingkungan.
o Tipe pembangunan harus dipertanggungjawabkan, termasuk keberlanjutan tourism. Tipe planning yang benar dapat menjamin/memastikan (ensure) bahwa sumberdaya alam dan budaya tourism untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan tidak mengalami kerusakan atau degradasi dalam proses pembangunan.
o Beberapa tipe pembangunan modern, bentuk-bentuk perubahan tourism melalui waktu, perubahan trend pasar dan keadaan/faktor lain (other circumstances). Planning dapat digunakan untuk menatar (upgrade) dan merevitalisasi keadaan yang tertinggal (existing outmoded) atau pengembangan tourism di area yang kurang baik/jelek (badly) dan melalui proses planning area tourism baru dapat direncanakan mengikuti fleksibilitas pambangunan di masa yang akan datang (future flexibility of development).
o Perkembangan/pembangunan tourism memerlukan manpower skills dan kapabilitas pendidikan dan pelatihan yang harus disiapkan. Diperlukan manpower untuk careful planning dan program pada beberapa kasus yang berkembang khususnya fasilitas pelatihan.
o Diperlukan struktur organisasi khusus untuk mengontrol pencapaian tourism development, strategi pemasaran dan program promosi, peraturan dan perundang-undangan dan fiscal yang komprehensif dan diintegrasikan dalam proses planning yang berhubungan kebijakan tourism dan pembangunan.
o Planning memberikan dasar rasional untuk tahapan pembangunan dan proyek pemmograman, yang penting public dan private sector untuk panning investasinya.
Kriteria Perencanaan Pengembangan Pariwisata
Menurut Inskeep (1991), perencanaan pengembangan kawasan pariwisata, harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memastikan kelayakan rencana (validitas) tersebut . Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
o Berkesinambungan, inkremental dan lentur. Antara tahapan (rencana implementasi) satu dengan yang lain saling berkesinambungan. Hasil yang dicapai tahapan sebelumnya berfungsi sebagai landasan atau titik tolak bagi rumusan rencana tahap berikutnya dan apa yang akan dicapai pada tahap berikutnya harus lebih baik dan lebih banyak dibanding tahap sebelumnya.
o Komprehensif. Semua komponen (pengembangan) pariwisata dan implikasi terhadap lingkungan dan ekonomi, dianalisis dan direncanakan secara terpadu (pendekatan holistik).
o Terintegrasi. Rencana haruslah terintegrasi ke dalam rencana kawasan lainnya, kebijakan pembangunan daerah (RTRW) dan terintegrasi dengan rencana sektor-sektor kegiatan lainnya.
o Orientasi pada pembangunan berkelanjutan. Rencana harus menjangkau kurun waktu panjang atau mempunyai visi jauh kedepan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, social, ekonomi, budaya dan antar generasi.
o Pelibatan dan keterlibatan masyarakat. Proses perencanaan harus mampu mengajak dan merangsang masyarakat untuk lebih berdaya.
o Realistis dan layak implementasi. Rencana yang disusun harus membumi, yaitu dikaitkan dengan ketersediaan sumber-sumberdaya pembentuk produk dan kemampuan sumber-sumberdaya untuk mendukung implementasi rencana.
o Aplikasi proses perencanaan yang sistematik. Output yang diperoleh melalui suatu proses yang sistematik disesuaikan dengan tujuan awal.
Komponen Supply dan Demand Tourism
Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata di tentukan oleh kesimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki (supply) dan minat wisatawan (demand). Komponen supply terdiri dari potensi atraksi (keindahan alam dan budaya), transportasi (aksessibilitas), pelayanan, informasi dan promosi (Gambar 1). Sedangkan komponen demand terdiri dari pasar dan motivasi wisatawan.
Gambar 1. Komponen Suplai (Gunn, 1994)
Atraksi merupakan komponen wisata terkuat (energizing power) dari sisi suplai. Atraksi merupakan hasil pengembangan atau pengelolaan lokasi atau program, untuk kepentingan, aktifitas, dan kenyamanan pengunjung. Atraksi sangat bergantung pada sumber daya alam dan budaya yang berfungsi menarik wisatawan (pengunjung) dan memberikan kepuasan bagi pengunjung. Inskeep (1991), komponen atraksi sumberdaya alam diantaranya iklim, scenic beauty, kawasan pantai dan laut, flora dan fauna, ciri khas lingkungan yang unik (special environmental features), kawasan konservasi dan taman nasional. Sedangkan atrakasi budaya antara lain archaeological, historical and cultural sites, pola budaya khusus (distinctive cultural patterns), seni dan kerajinan (arts dan handicrafts), aktifitas ekonomi, interesting urban areas, museum dan fasilitas budaya lainnya dan festival budaya.
Tahapan Proses Perencanaan Wisata
Tahapan proses perencanaan menurut Inskeep (1991) adalah sebagai berikut:
1. Persiapan (Study preparation).
2. Penentuan tujuan dan sasaran pembangunan.
3. Survei. Survei dan inventarisasi keadaan (existing situation) dan karekteristik kawasan.
4. Analisis dan sintesis. Analisis informasi survei dan sintesis analisis yang memberikan dasar untuk formulasi perencanaan dan rekomendasi.
5. Formulasi perencanaan. Formulasi kebijakan pembangunan dan rencana fisik, khususnya persiapan dasar (based on preparation) dan evaluasi alternatif kebijakan dan perencanaan.
6. Rekomendasi.
7. Implementasi.
8. Monitoring.
Sedangkan proses perencanaan pengembangan pariwisata dengan pendekatan lingkungan tertera pada Gambar berikut :
Tahap
Proses
A.
Tujuan
B.
Survei
dan
penilaian
Survei, seleksi dan penilaian Survei penduduk dan turis. Seleksi dan
Atribut. Map significant attributes. penilaian sumberdaya. Map significant
resources.
Insignificant no further assesment Insignificant no further assesment
C.
Evaluasi
Penentuan environmental-tourism map dengan membandingkan melalui resource value.
Evaluasi melalui matriks sumberdaya Evaluasi melalui dampak lingkugan
environment-tourism dan matriks kesesuaian rekreasi.
Indikasi kecocokan
D.
Sintesis
E.
Proposal
Gambar 2 Perencanaan Pariwisata dengan Pendekatan Lingkungan (Nurisyah, 2006).
Pendekatan Perencanaan Kawasan Wisata
Hal penting dalam perencanaan kawasan wisata adalah mampu menilai potensi calon kawasan agar dapat menarik wisatawan. Manfaat perencanaan spasial kawasan wisata yaitu;
o Dapat mengurangi dampak negatif, terutama, terhadap lingkungan, dalam dan sekitar kawasan misalnya, pembukaan kawasan yang tidak efisien dan baik yang menyebabkan erosi, penumpukan sampah, pencemaran lainnya.
o Dapat menghindari pembangunan jalur transportasi yang tidak efisien dan berbahaya serta tidak menyajikan bentang alam (view) dengan visual yang tertata baik .
o Merupakan salah satu solusi alternatif untuk mengembangkan suatu kawasan yang akomodatif terhadap peluang kepariwisataan (lokal dan regional), kepuasan pengunjung, kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan juga mengendalikan dan melestarikan lingkungannya.
o Kegiatan pariwisata awalnya tidak menimbulkan implikasi masalah spasial, namun multiplier effect yang dimiliki industri pariwisata cukup tinggi, sehingga menimbulkan banyak masalah spasial bila tidak dikendalikan sejak awal.
o Pemanfaatan ruang atau wilayah yang tidak teratur akan berpengaruh pada aspek fisik dan visual alami. Dalam jangka panjang, mempengaruhi pula aspek ekonomi dan sosial wilayah tersebut.
Dapat dinyatakan bahwa pariwisata dan pembangunan berkelanjutan merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab itu strategi spasial pengembangan pariwisata harus memperhatikan juga keterkaitan antar wilayah, secara ekologis dan sosial. Selain itu persyaratan subyek dan masalah yang harus ditangani dalam pengembangan kawasan wisata berkelanjutan mencakup:
o Nilai-nilai yang harus dilindungi: nilai biologi, nilai-nilai habitat, nilai-nilai keindahan serta nilai warisan budaya.
o Panduan konstruksi yang terbaik: meminimunkan pembukaan bentang alam, pemeliharaan cara penyaluran, gangguan terhadap tanah yang minimal, cara pencegahan munculnya tanaman eksotik dan penyakit, pembatasan area dengan lingkungan yang dilindungi, cara memperlakukan vegetasi yang telah dibuka dan prosedur pemugaran.
o Manajemen limbah dengan cara yang menarik dengan menghindari polusi pada badan air, pengelolaan sampah, dampak minimum pengolahan limbah cair, peraturan pembuangan sampah padat serta daur ulang sampah.
o Pelatihan staf: pelatihan pendahuluan, pelatihan pengawasan, pengawasan, jaminan mutu dan cara melaporkan
o Partisipasi masyarakat: pendekatan pendidikan, pendekatan aktivitas ekonomi dan partisipasi keputusan
o Lain-lain: pengelolaan kebakaran, audit lingkungan dan penyimpanan barang berbahaya
PENUTUP
Pariwisata merupakan salah satu sektor penunjang pembangunan nasional yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti devisa negara, menumbuhkan banyak peluang ekonomi skala kecil dan menengah, pencipta lapangan kerja, sebagai katalis untuk pengembangan sektor-sektor ekonomi lain seperti perikanan, pertanian kehutanan dan manucfacturing, serta dapat meningkatkan upaya menjaga dan memperbaiki lingkungan.
Pariwisata dapat juga menimbulkan bermacam-macam problem seperti kehilangan/kerugian keuntungan ekonomi, degradasi lingkungan, kehilangan identitas dan integritas budaya, kurangnya pemahaman budaya dan problem lainnya. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan benefits dari tourism dan mencegah problem yang dapat muncul maka planning for tourism merupakan hal essential yang harus dilakukan.
Untuk mendukung pengembangan kawasan pariwisata, maka perlu dilakukan studi secara lebih detil untuk pengembangan kawasan tersebut sekaligus pengembangan sarana dan prasarana pendukungnya yang diperlukan untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sesuai dengan aspek-aspek lingkungan.
Manfaat Tourism planning :
1. Merupakan petunjuk untuk pembangunan/perkembangan pariwisata.
2. Menjamin (ensure) bahwa sumberdaya alam dan budaya tourism untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan tidak mengalami kerusakan atau degradasi dalam proses pembangunan.
3. Digunakan untuk menatar (upgrade) dan merevitalisasi keadaan yang tertinggal (existing outmoded) dan melalui proses planning area tourism baru dapat direncanakan mengikuti fleksibilitas pambangunan di masa yang akan datang.
Dengan planning for tourism yang baik diharapkan pengembangan pariwisata dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejateraan manusia dan juga kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning: Basis, Concept, Case. Third Edition. Taylor and Francis. Washington DC.
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning : An Integrated and Sustainable Development Approach Van Nosttrand Reinhold, New York, U.S.A.
Mangkudilaga, S. 2000. Peran Serta Pariwisata Pengentasan Kemiskinan. Lingkungan Manejemen Ilmiah Volume 2, No. 7:9-16.
Mangkudilaga, S. 2001. Pemberdayaan Potensi Kelautan Pembangunan Pariwisata Di Indonesia. Lingkungan Manejemen Ilmiah Volume 3, No. 2:1-9.
Nirwandar, S. 2006. Pembanguan Sektor Pariwisata Di Era Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Pengembangan Pariwisata Bahari di Pulau-Pualu Kecil, Bogor, 23 Februari 2006.
Nurisyah, S. 2006. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata. Bahan Kuliah Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata. Institut Pertanian Bogor.
Sekartjakrarini, S. 2004. Ekowisata : Konsep Pengembangan dan Penyelenggaraan Pariwisata Ramah Lingkungan. Makalah disampaikan dalm Kuliah Umum Masalah Pembangunan dan Lingkungan di Program S3 Kelas Penyelenggaraan Khusus Kimpraswil Plus Program Studi PSL-IPB. Diselenggarakan ole Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, tanggal 1 Mei 2004. Bogor
Analisis Penilaian Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata Perkebunan Kelapa untuk Kawasan Agrowisata. (Sudi Kasus Perkebunan Kelapa di Areal Luak Bulilin Kabupaten Minahasa Tenggara).
Analisis Penilaian Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata Perkebunan Kelapa untuk Kawasan Agrowisata. (Sudi Kasus Perkebunan Kelapa di Areal Luak Bulilin Kabupaten Minahasa Tenggara).
Audy A. G. Supit
Diane Tangian
Abstract
Preferency and tourist motivation develop dynamic. Tendency of fulfile the need of specific objects like fresh air, beautiful view, traditional products even modern farm products and specific , shows the highgest increase. The tendency of tourist interest is a sign how high agrotourism demand is and also give change for developing agribisnis products, in area and farm product which have specific attraction. South west Minahasa is part of North Sulawesi Province, which have beautiful object and tourism attraction for developing coconut agrotourism activity. The conclusion of object potency and tourist attraction showing that an optimal exploited of that resources can be able to increase the prosperity of the society in this area.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Mayoritas wisatawan sekarang ini menginginkan pariwisata yang bersifat rekreasi plus. Dalam bentuk: 1). Mendapatkan pengalaman berwisata dalam suasana yang merefleksikan keunikan lingkungan setempat dan terpelihara secara lestari, 2). Interaksi aktif dengan masyarakat setempat untuk mengenal lebih jauh tentang budaya, adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai sosial masyarakat (Sekartjakrarini, 2004).
Kecenderungan perubahan minat wisatawan ini merupakan sinyal tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis, baik dalam bentuk kawasan maupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik (World Tourism Organization, 2000). Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung di tempat wisata yang diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, kenyamanan, dan keindahan alam. (Sutjipta, 2001)
Propinsi Sulawesi Utara merupakan daerah yang kaya akan obyek dan daya tarik wisata, berupa wisata alam, wisata buatan, wisata sejarah, dan wisata seni dan budaya. Keunggulan pariwisata Sulut terletak pada obyek dan daya tarik wisata alam, dan yang menjadi produk unggulan adalah Taman Nasional Bunaken (TNB). Keindahan panorama bawah laut TNB telah dikenal dunia dan mampu menarik minat wisatawan mancanegara untuk mengunjunginya. Hal ini teridentifikasi dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang mengunjungi Provinsi Sulawesi Utara, 80% mengunjungi Taman Nasional Bunaken. (Supit. A,. 2007)
Permasalahan yang terjadi adalah minimnya keberagaman tujuan wisata menyebabkan kunjungan wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, hanya tertuju pada obyek dan daya tarik wisata Taman Nasional Bunaken. Hal ini dapat menyebabkan tekanan terhadap lingkungan obyek wisata Tamana Nasional Bunaken, yang dicitrakan sebagai capsule image pariwisata Sulawesi Utara akan semakin meningkat. Untuk itu perlu dilakukan analisis penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata, yang bertujuan untuk menciptakan keberagaman tujuan wisata. Dengan adanya keberagaman tersebut mampu melindungi serta mencegah terjadinya degradasi lingkungan akibat jumlah kunjungan melebihi kapasitas daya dukungnya.
Agrowisata merupakan bagian dari obyek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai obyek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya.
Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung ditempat wisata yang diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam. Oleh sebab itu, faktor kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan, terutama pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para wisatawan.
1.2 Perumusan Masalah.
Minimnya keberagaman tujuan wisata akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan obyek wisata unggulan, yang diakibat tekanan jumlah kunjungan wisatawan yang melabih kapasitas daya dukungnya. Analisi penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata dimaksutkan untuk meningkatkan keberagaman tujuan wisata, serta pelestarian lingkungan obyek wisata unggulan akibat tekanan jumlah kunjungan yang melebihi kapasitas daya dukungnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai potensi obyek dan daya tarik wisata perkebunan kelapa di areal Luak Bulilin Kecamatan Tombatu Kabupaten Minahasa Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Menjadi sumber informasi mengenai nilai obyek dan daya tarik wisata perkebunan kelapa di areal Luak Bulilin Kec. Tombatu untuk dijadikan obyek agrowisata.
2. Sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi semua pihak terkait dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan dan pengembangan agrowisata.
3. Untuk menambah kepustakaan di bidang pariwisata.
II. METODE PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Penelitian ini dilakukan dengan metode survei (non experimental) melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, dan selanjutnya pengumpulan data ODTW dilakukan dengan cara observasi menurut Kusmayadi (2004). Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, dimana tahap pertama adalah melalui studi literatur untuk merumuskan penilaian potensi obyek dan daya tarik agrowisata, dan tahap kedua adalah melakukan analisis dan penilaian potensi ODTW.
2.2 Analisis Data.
Data yang diperoleh diolah melalui cara mentabulasikan, kemudian dilakukan analisis berdasarkan jenis dan tujuan penggunaan.
2.3 Analisis Penilaian Potensi
Analisis penilaian potensi ODTW dilakukan dengan cara menggunakan tabel kriteria penilaian ODTW Alam, yang disesuaikan berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Ditjen Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan tahun 2002.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Tarik
Obyek wisata Danau Bulilin (Gambar 1) memiliki daya tarik dengan hasil penilaiannya adalah 81,25%. Hasil penilaian ini dimungkinkan karena objek wisata Danau Bulilin memiliki variasi pemandangan danau, pegunungan, perkebunan dan lembah serta keserasian warnah bangunan dalam obyek. Danau Bulilin memiliki udara yang sejuk, bebas polusi karena jauh dari pemukiman. Hasil penilaian menunjukan peluang bagi kawasan ini untuk pengembangan atraksi wisata yang beragam.
Gambar 1 a. Pemandangan Kabupaten Minahasa Tenggara
b. Pemandangan Danau Bulilin
Kadar Hubunga/Aksesbilitas
Akses yang sangat mudah dengan kondisi jalan yang baik menjadikan lokasi ini sangat potensial untuk dikembangkan, dengan hasil penilaiannya 84.84%. Kemudahan aksesibilitas lokasi ini didukung oleh jalan menuju obyek yang baik dengan jumlah kendaraan yang memadai, sehingga mempermudah wisatawan mencapai lokasi.
Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi dan Pelayanan Masyarakat
Hasil penilaian kondisi lingkungan sosek adalah 87.03% dimana hasil penilaian ini dipengaruhi oleh status pemilikan lahan yang berupa tanah milik perorangan dan adat. Tingkat kesuburan tanah sangat tinggi. Kondisi lingkungan sosial ekonomi adalah baik, dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan pariwisata dilokasi ini sangat menunjang. Pelayanan masyarakat sangat baik dan ramah melayani pengunjung, namun yang menjadi kendalah adalah kemampuan berbahasa dimana pada umumnya masyarakat hanya menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga nilainya hanya mencapai 75%.
Akomodasi, Prasarana dan Sarana Penunjang
Penilaian akomodasi, prasarana dan sarana penunjang yang berada radius 20 km dari objek didapatkan hasil yang kurang memuaskan yakni 33.33%. hal tersebut bisa di pahami karena Kabupaten MITRA merupakan Kabupaten baru hasil pemekaran yang saat ini masih dalam taraf membangun infrastruktur dan fasilitas-fasilitas umum. Untuk itu kedepannya, ketersediaan fasilitas-fasilitas umum yang sangat lengkap serta sarana penunjang lainnya merupakan hal yang harus dikedepankan untuk membangun daya saing dan daya tarik bagi objek-objek wisata yang ada di Kabupaten Minahasa Tenggara.
Ketersedian Air Bersih
Ketersediaan air bersih sangat vital dalam pengembangan suatu daerah tujuan wisata. Danau Bulilin memiliki ketersediaan air bersih dengan hasil penilaian mencapai 96,66%. Sumber air bersih di Danau Bulilin adalah mata air pegunungan yang ketersediaannya sangat melimpah.
Keamanan dan Kondisi Iklim
Lokasi obyek wisata Danau Bulilin sangat jarang terjadi gangguan kamtibmas, tidak ada kepercayaan yang mengganggu dan bebas dari gangguan binatang berbahaya sehingga penilaiannya bisa mencapai 100%. Gangguan yang ada hanya dimungkinkan dari struktur tanah yang labil yang bisa saja terdapat pada lokasi ini karena letaknya pada daerah ketinggian atau daerah pengunungan. Pada umumnya keadaan iklim di Kabupaten Minahasa Tenggara sangat menunjang untuk lokasi obyek wisata dengan nilai indeks mencapai 90%, sehingga waktu untuk berkunjung di lokasi wisata dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa dibatasi oleh kondisi iklim tertentu.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Agrowisata Kelapa
1. Obyek agrowisata tidak hanya terbatas kepada obyek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi obyek wisata yang menarik.
2. Cara-cara bertanam kelapa, acara panen kelapa, pembuatan gula aren, serta cara-cara penciptaan varietas baru kelapa merupakan salah satu contoh obyek yang kaya dengan muatan pendidikan.
3. Cara pembuatan gula merah kelapa juga merupakan salah satu contoh lain dari kegiatan yang dapat dijual kepada wisatawan disamping mengandung muatan kultural dan pendidikan juga dapat menjadi media promosi, karena dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang dihasilkan pengrajin.
Penilaian ODTW Danau Bulilin
• Dari hasil penilaian 10 kategori potensi daya tarik wisata di Danau Bulilin, secara keseluruan hasil yang di dapat adalah 86,61%. Adapun hasil tersebut menunjukan potensi yang tinggi untuk di kembangkan suatu kegiatan wisata yang tentunya kekuatan ODTW kawasan tersebut dikategorikan layak sebagai destinasi wisata darat dan berpotensi di kembangkan Agrowisata kelapa.
• Ada 2 kategori yang menjadi titik lemah kawasan tersebut yakni kategori Akomodasi (radius 15 km dari obyek) dan pelayanan masyarakat. Tentunya kelemahan ke-2 kategori tersebut harus menjadi perhatian untuk dikembangkan. Adapun kategori pelayanan masyarakat yang menjadi titik lemah penilaian adalah penguasaan bahasa, harus menjadi perhatian khusus Pemerintah dan stakeholder pariwisata.
Saran
Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan wisata agro kedepan sangat besar, terutama berkaitan dengan kesiapan SDM, promosi dan dukungan prasarana pengembangan. Untuk itu diperlukan langkah bersama antara pemerintah, pengusaha wisata agro, lembaga terkait dan masyarakat. Upaya terobosan perlu dirancang untuk lebih meningkatkan kinerja dan peran wisata agro.
V. DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, 2002. Kriteria Standar Penilaian Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (Analisis daerah Operasi). Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Bogor.
Kusmayadi. 2004. Statistika Pariwisata Deskriptif. Gramedia. Jakarta.
Sekartjakrarini, S. 2004. Ekowisata: Konsep Pengembangan dan Penyelenggaraan Pariwisata Ramah Lingkungan. Makalah Kuliah Umum Masalah Pembangunan dan Lingkungan Program S3. Program Studi PSL-IPB, 15 Mei 2004.
Supit. A,. 2007. Dampak Kunjungan Wisata Terhadap Perubahan Kondisi Terumbu Karang Utara. IPB Bogor.
Sutjipta, I Nyoman. 2001. Agrowisata.Magister Manajemn Agribisnis. Universitas Udayana.[Diktat].
World Tourism Organization, 2000. Tourism Trends.Madrid. http://www.gdnet.org. [13 Juni 2009]
Audy A. G. Supit
Diane Tangian
Abstract
Preferency and tourist motivation develop dynamic. Tendency of fulfile the need of specific objects like fresh air, beautiful view, traditional products even modern farm products and specific , shows the highgest increase. The tendency of tourist interest is a sign how high agrotourism demand is and also give change for developing agribisnis products, in area and farm product which have specific attraction. South west Minahasa is part of North Sulawesi Province, which have beautiful object and tourism attraction for developing coconut agrotourism activity. The conclusion of object potency and tourist attraction showing that an optimal exploited of that resources can be able to increase the prosperity of the society in this area.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Mayoritas wisatawan sekarang ini menginginkan pariwisata yang bersifat rekreasi plus. Dalam bentuk: 1). Mendapatkan pengalaman berwisata dalam suasana yang merefleksikan keunikan lingkungan setempat dan terpelihara secara lestari, 2). Interaksi aktif dengan masyarakat setempat untuk mengenal lebih jauh tentang budaya, adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai sosial masyarakat (Sekartjakrarini, 2004).
Kecenderungan perubahan minat wisatawan ini merupakan sinyal tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis, baik dalam bentuk kawasan maupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik (World Tourism Organization, 2000). Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung di tempat wisata yang diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, kenyamanan, dan keindahan alam. (Sutjipta, 2001)
Propinsi Sulawesi Utara merupakan daerah yang kaya akan obyek dan daya tarik wisata, berupa wisata alam, wisata buatan, wisata sejarah, dan wisata seni dan budaya. Keunggulan pariwisata Sulut terletak pada obyek dan daya tarik wisata alam, dan yang menjadi produk unggulan adalah Taman Nasional Bunaken (TNB). Keindahan panorama bawah laut TNB telah dikenal dunia dan mampu menarik minat wisatawan mancanegara untuk mengunjunginya. Hal ini teridentifikasi dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang mengunjungi Provinsi Sulawesi Utara, 80% mengunjungi Taman Nasional Bunaken. (Supit. A,. 2007)
Permasalahan yang terjadi adalah minimnya keberagaman tujuan wisata menyebabkan kunjungan wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, hanya tertuju pada obyek dan daya tarik wisata Taman Nasional Bunaken. Hal ini dapat menyebabkan tekanan terhadap lingkungan obyek wisata Tamana Nasional Bunaken, yang dicitrakan sebagai capsule image pariwisata Sulawesi Utara akan semakin meningkat. Untuk itu perlu dilakukan analisis penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata, yang bertujuan untuk menciptakan keberagaman tujuan wisata. Dengan adanya keberagaman tersebut mampu melindungi serta mencegah terjadinya degradasi lingkungan akibat jumlah kunjungan melebihi kapasitas daya dukungnya.
Agrowisata merupakan bagian dari obyek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai obyek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya.
Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung ditempat wisata yang diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam. Oleh sebab itu, faktor kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan, terutama pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para wisatawan.
1.2 Perumusan Masalah.
Minimnya keberagaman tujuan wisata akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan obyek wisata unggulan, yang diakibat tekanan jumlah kunjungan wisatawan yang melabih kapasitas daya dukungnya. Analisi penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata dimaksutkan untuk meningkatkan keberagaman tujuan wisata, serta pelestarian lingkungan obyek wisata unggulan akibat tekanan jumlah kunjungan yang melebihi kapasitas daya dukungnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai potensi obyek dan daya tarik wisata perkebunan kelapa di areal Luak Bulilin Kecamatan Tombatu Kabupaten Minahasa Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Menjadi sumber informasi mengenai nilai obyek dan daya tarik wisata perkebunan kelapa di areal Luak Bulilin Kec. Tombatu untuk dijadikan obyek agrowisata.
2. Sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi semua pihak terkait dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan dan pengembangan agrowisata.
3. Untuk menambah kepustakaan di bidang pariwisata.
II. METODE PENELITIAN
2.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Penelitian ini dilakukan dengan metode survei (non experimental) melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, dan selanjutnya pengumpulan data ODTW dilakukan dengan cara observasi menurut Kusmayadi (2004). Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, dimana tahap pertama adalah melalui studi literatur untuk merumuskan penilaian potensi obyek dan daya tarik agrowisata, dan tahap kedua adalah melakukan analisis dan penilaian potensi ODTW.
2.2 Analisis Data.
Data yang diperoleh diolah melalui cara mentabulasikan, kemudian dilakukan analisis berdasarkan jenis dan tujuan penggunaan.
2.3 Analisis Penilaian Potensi
Analisis penilaian potensi ODTW dilakukan dengan cara menggunakan tabel kriteria penilaian ODTW Alam, yang disesuaikan berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Ditjen Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan tahun 2002.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Tarik
Obyek wisata Danau Bulilin (Gambar 1) memiliki daya tarik dengan hasil penilaiannya adalah 81,25%. Hasil penilaian ini dimungkinkan karena objek wisata Danau Bulilin memiliki variasi pemandangan danau, pegunungan, perkebunan dan lembah serta keserasian warnah bangunan dalam obyek. Danau Bulilin memiliki udara yang sejuk, bebas polusi karena jauh dari pemukiman. Hasil penilaian menunjukan peluang bagi kawasan ini untuk pengembangan atraksi wisata yang beragam.
Gambar 1 a. Pemandangan Kabupaten Minahasa Tenggara
b. Pemandangan Danau Bulilin
Kadar Hubunga/Aksesbilitas
Akses yang sangat mudah dengan kondisi jalan yang baik menjadikan lokasi ini sangat potensial untuk dikembangkan, dengan hasil penilaiannya 84.84%. Kemudahan aksesibilitas lokasi ini didukung oleh jalan menuju obyek yang baik dengan jumlah kendaraan yang memadai, sehingga mempermudah wisatawan mencapai lokasi.
Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi dan Pelayanan Masyarakat
Hasil penilaian kondisi lingkungan sosek adalah 87.03% dimana hasil penilaian ini dipengaruhi oleh status pemilikan lahan yang berupa tanah milik perorangan dan adat. Tingkat kesuburan tanah sangat tinggi. Kondisi lingkungan sosial ekonomi adalah baik, dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan pariwisata dilokasi ini sangat menunjang. Pelayanan masyarakat sangat baik dan ramah melayani pengunjung, namun yang menjadi kendalah adalah kemampuan berbahasa dimana pada umumnya masyarakat hanya menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga nilainya hanya mencapai 75%.
Akomodasi, Prasarana dan Sarana Penunjang
Penilaian akomodasi, prasarana dan sarana penunjang yang berada radius 20 km dari objek didapatkan hasil yang kurang memuaskan yakni 33.33%. hal tersebut bisa di pahami karena Kabupaten MITRA merupakan Kabupaten baru hasil pemekaran yang saat ini masih dalam taraf membangun infrastruktur dan fasilitas-fasilitas umum. Untuk itu kedepannya, ketersediaan fasilitas-fasilitas umum yang sangat lengkap serta sarana penunjang lainnya merupakan hal yang harus dikedepankan untuk membangun daya saing dan daya tarik bagi objek-objek wisata yang ada di Kabupaten Minahasa Tenggara.
Ketersedian Air Bersih
Ketersediaan air bersih sangat vital dalam pengembangan suatu daerah tujuan wisata. Danau Bulilin memiliki ketersediaan air bersih dengan hasil penilaian mencapai 96,66%. Sumber air bersih di Danau Bulilin adalah mata air pegunungan yang ketersediaannya sangat melimpah.
Keamanan dan Kondisi Iklim
Lokasi obyek wisata Danau Bulilin sangat jarang terjadi gangguan kamtibmas, tidak ada kepercayaan yang mengganggu dan bebas dari gangguan binatang berbahaya sehingga penilaiannya bisa mencapai 100%. Gangguan yang ada hanya dimungkinkan dari struktur tanah yang labil yang bisa saja terdapat pada lokasi ini karena letaknya pada daerah ketinggian atau daerah pengunungan. Pada umumnya keadaan iklim di Kabupaten Minahasa Tenggara sangat menunjang untuk lokasi obyek wisata dengan nilai indeks mencapai 90%, sehingga waktu untuk berkunjung di lokasi wisata dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa dibatasi oleh kondisi iklim tertentu.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Agrowisata Kelapa
1. Obyek agrowisata tidak hanya terbatas kepada obyek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi obyek wisata yang menarik.
2. Cara-cara bertanam kelapa, acara panen kelapa, pembuatan gula aren, serta cara-cara penciptaan varietas baru kelapa merupakan salah satu contoh obyek yang kaya dengan muatan pendidikan.
3. Cara pembuatan gula merah kelapa juga merupakan salah satu contoh lain dari kegiatan yang dapat dijual kepada wisatawan disamping mengandung muatan kultural dan pendidikan juga dapat menjadi media promosi, karena dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang dihasilkan pengrajin.
Penilaian ODTW Danau Bulilin
• Dari hasil penilaian 10 kategori potensi daya tarik wisata di Danau Bulilin, secara keseluruan hasil yang di dapat adalah 86,61%. Adapun hasil tersebut menunjukan potensi yang tinggi untuk di kembangkan suatu kegiatan wisata yang tentunya kekuatan ODTW kawasan tersebut dikategorikan layak sebagai destinasi wisata darat dan berpotensi di kembangkan Agrowisata kelapa.
• Ada 2 kategori yang menjadi titik lemah kawasan tersebut yakni kategori Akomodasi (radius 15 km dari obyek) dan pelayanan masyarakat. Tentunya kelemahan ke-2 kategori tersebut harus menjadi perhatian untuk dikembangkan. Adapun kategori pelayanan masyarakat yang menjadi titik lemah penilaian adalah penguasaan bahasa, harus menjadi perhatian khusus Pemerintah dan stakeholder pariwisata.
Saran
Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan wisata agro kedepan sangat besar, terutama berkaitan dengan kesiapan SDM, promosi dan dukungan prasarana pengembangan. Untuk itu diperlukan langkah bersama antara pemerintah, pengusaha wisata agro, lembaga terkait dan masyarakat. Upaya terobosan perlu dirancang untuk lebih meningkatkan kinerja dan peran wisata agro.
V. DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, 2002. Kriteria Standar Penilaian Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (Analisis daerah Operasi). Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Bogor.
Kusmayadi. 2004. Statistika Pariwisata Deskriptif. Gramedia. Jakarta.
Sekartjakrarini, S. 2004. Ekowisata: Konsep Pengembangan dan Penyelenggaraan Pariwisata Ramah Lingkungan. Makalah Kuliah Umum Masalah Pembangunan dan Lingkungan Program S3. Program Studi PSL-IPB, 15 Mei 2004.
Supit. A,. 2007. Dampak Kunjungan Wisata Terhadap Perubahan Kondisi Terumbu Karang Utara. IPB Bogor.
Sutjipta, I Nyoman. 2001. Agrowisata.Magister Manajemn Agribisnis. Universitas Udayana.[Diktat].
World Tourism Organization, 2000. Tourism Trends.Madrid. http://www.gdnet.org. [13 Juni 2009]
GambaranGambaran Umum Kondisi Terumbu Karang Kawasan Reklamasi Mega Mas Manado
Gambaran Umum Kondisi Terumbu Karang Kawasan Reklamasi Mega Mas Manado
Oleh
Youdy J.H. Gumolili
Robert D. Towoliu
Abstract
A coral reef conditions survey in Mega Mas Manado reclamation area was using a line transect technique at 3 m depth.
The result showed that some hard coral genera recorded were Acropora, Stylophora, Seriatopora, Lobophyllia, Millepora, Fungia and Favia. Beside that, encrusting coral, sub massive coral and Acropora tabulate was dominated the coral growth type, but also found foliose and branching coral.
In general, the category of coral reef conditions in mega mas manado reclamation area is “fair category” and the coral reef percent cover are 40.12 %. Average of biodiversity index coral reef were below on 0.75, density relative encrusting coral more hight than the others, mean length of colony Acropora more hight than encrusting and sub massive coral and mortality index hard coral in this area very small.
The degradation in the coral reef condition is mostly caused by human activities.
Pendahuluan
Karang batu, sebagai pembentuk utama terumbu karang, hidup bersimbiosis dengan “monocelluler alga” (zooxanthellae), mempunyai peranan penting dalam penyediaan oksigen ke dalam perairan di sekitarnya melalui proses fotosintesis (Wells 1957 dalam Soekarno 1994), membantu suplai makanan bagi polip karang dan pembentukan kerangka kapur (Ditlev, 1980), sedangkan karang menghasilkan material yang mengandung fosfat dan nitrogen yang digunakan oleh alga sebagai makanannya. Terumbu karang juga berfungsi untuk melindungi dari pengaruh abrasi, sumber utama pasir pantai, sumber ekosistem pantai berbagai bahan baku makanan, sumber substansi bioaktif untuk industri kimia dan farmasi.
Sekarang ini, umumnya sumber daya terumbu karang di Indonesia mengalami tekanan pemanfaatan yang berlebihan. Pengaruh utama terhadap menurunnya kualitas terumbu karang di Indonesia adalah akibat aktivitas manusia yang berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya ini dan sebagian karena pengaruh alami. Beberapa permasalahan yang timbul saat ini di wilayah pesisir, khususnya daerah terumbu karang, disebabkan karena adanya degradasi ekosistem, kegiatan penangkapan ikan yang bersifat merusak, pencemaran dan konversi lahan untuk keperluan yang lain serta terjadinya pemutihan karang (Coral Bleaching) dan sedimentasi yang diakibatkan oleh pengerukkan, penurunan kualitas air. Kecepatan degradasi sumberdaya wilayah pesisir telah melampaui ambang batas baik dalam skala yang kecil maupun besar.
Aktivitas reklamasi disepanjang pesisir pantai Manado yang dilakukan beberapa waktu lalu serta semakin banyaknya aktifitas pembangunan yang dilakukan, dicurigai telah menyebabkan terjadi perubahan dan penurunan kualitas lingkungan perairan.
Metodologi Penelitian
Pengambilan data ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2008 di daerah terumbu karang kawasan reklamasi Mega Mall Manado. Pengambilan data karang dilakukan dengan menggunakan teknik lifeform kategori (line intercept transect) (Anonimous, 1993), dengan ukuran transek sepanjang 50 m yang diletakkan sejajar dengan garis pantai disepanjang permukaan batu reklamasi dengan menggunakan scuba yang dibagi pada tiga stasiun lokasi penelitian. Peneliti menyelam sepanjang garis transek dan setiap biota yang dilewati transek dicatat menurut kategorinya. Dari data tersebut akan diketahui persentase tutupan, keanekaragaman, indeks kepadatan relatif, rata-rata panjang koloni dan indeks kematian karang batu.
Hasil Pengamatan
Secara keseluruhan terumbu karang di daerah ini (kawasan Mega Mas) telah membentuk daerah terumbu karang yang cukup baik. Beberapa jenis karang Acropora sp. dengan berbagai bentuk pertumbuhan telah berkembang dengan baik. Karang-karang yang bertumbuh di daerah ini umumnya lebih didominasi oleh karang dari suku Acroporidae (Acropora dan Montipora) dan Pocilloporidae (Pocillopora) serta beberapa koloni dari suku Faviidae. Umumnya bentuk pertumbuhan karang daerah ini didominasi oleh karang-karang encrusting (merayap), karang submassive dan karang berbentuk meja (Acropora tabulate), tetapi ada juga yang berbentuk foliose (daun) dan bercabang yang tersebar sampai didasar perairan.
Di daerah ini juga terlihat beberapa genus karang seperti Plerogyra, Montipora, Pocillopora, Acropora, Stylophora, Seriatopora, Lobophyllia, Millepora, Fungia dan Favia. Namun ada juga beberapa jenis lainnya akan tetapi sulit untuk diidentifikasi karena koloni karangnya yang masih kecil.
- Persentase Tutupan Karang Batu
Pada tabel 1 gambar 2 terlihat kisaran persentase tutupan karang batu adalah 24,08 – 43,8 %. Persentase tutupan karang batu tertinggi pada stasiun 2 (52,48 %) sedangkan stasiun 1 sebesar 43,8 % dan stasiun 3 sebesar 24,08 %.
Tabel 1. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik Penyusun Daerah Terumbu Karang Kawasan Mega Mas Berdasarkan Life Form Report.
Komponen Terumbu Karang Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Komponen Biotik
Karang Batu 43,8 52,48 24,08
Alga 1,08 2,48 0,16
Karang Lunak 0 0 0
Sponge 0,24 0 0
Fauna Lain 2,72 0 1,24
Jumlah 47,84 54,96 25,48
Komponen Abiotik
Karang Mati dan Karang Mati Alga 3,32 0,68 0,48
Batu, pasir, lumpur, air, kerikil 48,84 44,36 74,04
Jumlah
52,16 45,04 74,52
Gambar 1. Histogram Persentase Tutupan Karang Batu di Kawasan Mega Mas
Untuk stasiun 1, persentase tutupan bentuk pertumbuhan karang batu dari yang paling tinggi adalah Acropora branching (14,68 %), karang submassive (12,40 %), Karang encrusting (8,56 %), Acropora tabulate (6,64 %), Acropora digitate (1,32 %) dan karang massive (0,20 %). Untuk stasiun 2, persentase tutupan bentuk pertumbuhan karag batu dari yang paling tinggi adalah Acropora tabulate (26,40 %), Karang encrusting (17,28 %), Acropora branching (6,40 %), karang bercabang (0,60 %), karang massive (0,52 %), mushroom coral (0,40 %), karang submassive (0,36 %), Acropora digitate (0,28 %) dan karang foliose (0,24 %). Untuk stasiun 3, persentase tutupan bentuk pertumbuhan karang batu dari yang paling tinggi adalah karang encrusting (10,80 %), karang submassive (5,52 %), Acropora branching (4,44 %), Acropora tabulate (1,36 %), Acropora digitate (0,92 %), karang bercabang (0,52 %), karang foliose (0,40 %) dan karang massive (0,12 %).
Yap dan Gomez (1984) dalam Lalamentik (1991) mengkategorikan terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup sebagai berikut: Sangat baik (75-100 %), baik (50-74,9 %), cukup (25-49,9 %) dan buruk (0-24,9 %). Berdasarkan kategori persentase tutupan karang batu yang dikemukakan oleh Yap dan Gomez dalam Lalamentik (1991) maka kondisi terumbu karang stasiun 1 berada pada kategori “cukup”, stasiun 2 berada pada kategori “baik” dan stasiun 3 berada pada kategori “buruk”. Secara umum persentase tutupan karang batu kawasan reklamasi Mega Mas sebesar 40,12 % dan berada pada kategori “cukup”. Buruknya terumbu karang di stasiun 3 lebih dikarenakan koloni karang batu belum banyak yang mendiami daerah ini. Selain itu juga hal ini dimungkinkan terjadi karena letaknya yang sangat dekat dengan muara sungai sehingga sedimentasi dan salinitas perairan berpengaruh terhadap pembentukan koloni karang batu. Kematian karang batu untuk daerah ini masih relatif kecil dimana untuk stasiun 1 hanya 3,32 %; stasiun 2 sebesar 0,68 % dan stasiun 3 sebesar 0,48 %. Faktor lain yang juga menunjang pertumbuhan karang batu di daerah ini adalah keadaan perairannya yang relatif tenang (kecuali musim angin barat) karena berada di dalam teluk Manado sehingga gempuran ombak relatif kecil.
- Indeks Keanekaragaman Karang Batu
Dari gambar 3 terlihat bahwa indeks keanekaragaman dari karang batu kawasan Mega Mas yang rata-rata dibawah 0,75 menunjukkan kurangnya keanekaragaman karang batu di daerah ini. Stodart dan Johnson dalam Sutarna (1991) menyatakan bahwa terumbu karang yang mempunyai indeks keanekaragaman karang batu 0,5 – 0,75 tergolong cukup produktif; 0,75 – 1,00 tergolong produktif dan lebih besar dari 1,00 tergolong sangat produkti. Sehingga dapat dikatakan bahwa karang batu kawasan Mega Mas masuk pada kategori “cukup produktif”. Dari ketiga stasiun penelitian, keanekaragaman karang batu paling tinggi pada stasiun 1 dan terendah di stasiun 2.
Gambar 2. Indeks Keanekaragaman Karang Batu
- Indeks Kepadatan Relatif Karang Batu
Tabel 2. Indeks Kepadatan Relatif Karang Batu
No Bentuk Pertumbuhan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1. ACB 20,12 16,05 23,61
2. ACT 9,15 28,40 4,17
3. ACE 0 0 0
4. ACS 0 0 0
5. ACD 20,12 1,23 4,17
6. CB 0 2,47 4,17
7. CM 3,05 3,70 1,39
8. CE 26,83 41,98 38,89
9. CS 20,73 2,47 22,22
10. CF 0 1,23 1,39
11. CMR 0 2,47 0
12. CME 0 0 0
13. CHL 0 0 0
KR (%) 16,67 11,11 12,50
Kepadatan relatif karang batu kawasan Mega Mas seperti yang terlihat pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kepadatan relatif karang batu di stasiun 1 lebih tinggi dari stasiun 2 dan 3. Secara keseluruhan di ketiga stasiun kepadatan relatif karang encrusting lebih tinggi dari yang lain, kemudian diikuti oleh jenis-jenis Acropora dan selanjutnya karang sub massive. Kenyataan di lapangan memang memperlihatkan banyaknya karang yang bentuk pertumbuhan encrusting dari berbagai genus karang, selain dari yang berbentuk tabulate dan bercabang. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah ini cocok bagi planula-planula karang dalam mencari ruang untuk bertumbuh.
- Rata-Rata Panjang Koloni Karang Batu
Tabel 3. Rata-Rata Panjang Koloni Karang Batu
No Bentuk Pertumbuhan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1. ACB 11,12 12,31 6,53
2. ACT 11,07 28,70 11,33
3. ACE 0 0 0
4. ACS 0 0 0
5. ACD 11,00 7,00 7,67
6. CB 0 7,50 4,33
7. CM 5,00 4,33 3,00
8. CE 4,86 12,71 9,64
9. CS 9,12 4,50 8,63
10. CF 0 6,00 10,00
11. CMR 0 5,00 0
12. CME 0 0 0
13. CHL 0 0 0
KR (%) 8,69 9,78 7,64
Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata panjang koloni karang batu di kawasan Mega Mas yang paling tinggi pada stasiun 2 (9,78 cm) dan terendah di stasiun 3 (7,64 cm). Jenis Acropora merupakan karang yang rata-rata panjang koloninya paling besar di ketiga stasiun penelitian yang kemudian diikuti oleh karang-karang encrusting dan submassive. Rata-rata panjang koloni karang massive di ketiga stasiun paling kecil, terutama pada stasiun 3. Hal ini disebabkan oleh karena laju pertumbuhan karang massive yang pada umumnya lebih lambat dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan jenis Acropora merupakan karang yang laju pertumbuhannya paling cepat di antara berbagai jenis karang yang ada.
- Indeks Kematian Karang Batu
Indeks kematian karang batu di kawasan Mega Mas yang diperlihatkan pada gambar 4 menunjukkan bahwa kematian karang sangat kecil. Hal ini menggambarkan bahwa perairan di daerah ini sangat cocok bagi pertumbuhan karang batu.
Indeks kematian karang batu paling tinggi pada stasiun 1 dan paling rendah pada stasiun 2. Akan tetapi jika tidak segera dilakukan tindakan perlindungan dikhawatirkan karang yang berada di daerah tersebut yang fungsi utamanya sebagai penahan gelombang akan mengalami kerusakkan. Hal ini diakibatkan oleh mulainya beberapa kelompok nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan “soma” dampar. Selain itu juga banyaknya sampah plastik yang berada dipermukaan beberapa koloni karang.
Tipe-tipe sampah yang umum dijumpai adalah karung, berbagai jenis tas plastik, kaleng dan bekas-bekas tali pancing.
Gambar 3. Histogram Indeks Kematian Karang Batu
Kesimpulan
1. Persentase tutupan karang batu kawasan mega mas sebesar 40,12 % dan masuk pada kategori cukup. Persentase tutupan karang batu stasiun 1 paling tinggi adalah Acropora branching (14,68 %), stasiun 2 adalah Acropora tabulate 24,60 % dan stasiun 3 adalah karang encrusting (10,80 %).
2. Indeks keragaman karang batu kawasan mega mas kurang dari 0,75 , sehingga keragaman karang batu di daerah ini masuk pada kategori cukup produktif.
3. Kepadatan relatif karang encrusting lebih tinggi dan kemudian diikuti karang jenis Acropora dan sub massive.
4. Karang dari genus Acopora merupakan karang dengan rata-rata panjang koloni paling tinggi, kemudian diikuti oleh karang encrusting dan sub massive.
5. Kematian karang batu di daerah ini sangat kecil.
Pustaka
Ditlev, H., 1980. A Field-Guided to The Reef Building Coral of The Indo-Pacigic. Dr. W. Bakhuys Publisher. Rotterdam.
Lalamentik, L.Th.X., 1991. Karang dan Terumbu Karang. Laporan Fakultas Perikanan UNSRAT. Manado. 66 hal.
Lane, D.J.W., 1986. Growth of Scleractinians Coral on Sediment-Stressed Reefs at Singapore. Department of Zoology. National University of Singapore.
Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta. 457 hal.
Roeroe, K.A., 1995. Telaah Kondisi Ekologi Terumbu Karang Di Perairan Pantai Utara Minahasa, Sulawesi Utara. Skripsi Fakultas Perikanan. Universitas Sam Ratulangi. Manado. 45 hal.
Soekarno, R., 1994. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah Pengelolaannya. Dalam Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang di Manado tahun 1995.
Sutarna, I. N., 1991. Kondisi dan Produktifitas Karang Batu di Tanjung Selatan Pulau Ambon. Perairan Maluku dan Sekitarnya. BPPSL-P3O LIPI. Ambon.
Oleh
Youdy J.H. Gumolili
Robert D. Towoliu
Abstract
A coral reef conditions survey in Mega Mas Manado reclamation area was using a line transect technique at 3 m depth.
The result showed that some hard coral genera recorded were Acropora, Stylophora, Seriatopora, Lobophyllia, Millepora, Fungia and Favia. Beside that, encrusting coral, sub massive coral and Acropora tabulate was dominated the coral growth type, but also found foliose and branching coral.
In general, the category of coral reef conditions in mega mas manado reclamation area is “fair category” and the coral reef percent cover are 40.12 %. Average of biodiversity index coral reef were below on 0.75, density relative encrusting coral more hight than the others, mean length of colony Acropora more hight than encrusting and sub massive coral and mortality index hard coral in this area very small.
The degradation in the coral reef condition is mostly caused by human activities.
Pendahuluan
Karang batu, sebagai pembentuk utama terumbu karang, hidup bersimbiosis dengan “monocelluler alga” (zooxanthellae), mempunyai peranan penting dalam penyediaan oksigen ke dalam perairan di sekitarnya melalui proses fotosintesis (Wells 1957 dalam Soekarno 1994), membantu suplai makanan bagi polip karang dan pembentukan kerangka kapur (Ditlev, 1980), sedangkan karang menghasilkan material yang mengandung fosfat dan nitrogen yang digunakan oleh alga sebagai makanannya. Terumbu karang juga berfungsi untuk melindungi dari pengaruh abrasi, sumber utama pasir pantai, sumber ekosistem pantai berbagai bahan baku makanan, sumber substansi bioaktif untuk industri kimia dan farmasi.
Sekarang ini, umumnya sumber daya terumbu karang di Indonesia mengalami tekanan pemanfaatan yang berlebihan. Pengaruh utama terhadap menurunnya kualitas terumbu karang di Indonesia adalah akibat aktivitas manusia yang berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya ini dan sebagian karena pengaruh alami. Beberapa permasalahan yang timbul saat ini di wilayah pesisir, khususnya daerah terumbu karang, disebabkan karena adanya degradasi ekosistem, kegiatan penangkapan ikan yang bersifat merusak, pencemaran dan konversi lahan untuk keperluan yang lain serta terjadinya pemutihan karang (Coral Bleaching) dan sedimentasi yang diakibatkan oleh pengerukkan, penurunan kualitas air. Kecepatan degradasi sumberdaya wilayah pesisir telah melampaui ambang batas baik dalam skala yang kecil maupun besar.
Aktivitas reklamasi disepanjang pesisir pantai Manado yang dilakukan beberapa waktu lalu serta semakin banyaknya aktifitas pembangunan yang dilakukan, dicurigai telah menyebabkan terjadi perubahan dan penurunan kualitas lingkungan perairan.
Metodologi Penelitian
Pengambilan data ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2008 di daerah terumbu karang kawasan reklamasi Mega Mall Manado. Pengambilan data karang dilakukan dengan menggunakan teknik lifeform kategori (line intercept transect) (Anonimous, 1993), dengan ukuran transek sepanjang 50 m yang diletakkan sejajar dengan garis pantai disepanjang permukaan batu reklamasi dengan menggunakan scuba yang dibagi pada tiga stasiun lokasi penelitian. Peneliti menyelam sepanjang garis transek dan setiap biota yang dilewati transek dicatat menurut kategorinya. Dari data tersebut akan diketahui persentase tutupan, keanekaragaman, indeks kepadatan relatif, rata-rata panjang koloni dan indeks kematian karang batu.
Hasil Pengamatan
Secara keseluruhan terumbu karang di daerah ini (kawasan Mega Mas) telah membentuk daerah terumbu karang yang cukup baik. Beberapa jenis karang Acropora sp. dengan berbagai bentuk pertumbuhan telah berkembang dengan baik. Karang-karang yang bertumbuh di daerah ini umumnya lebih didominasi oleh karang dari suku Acroporidae (Acropora dan Montipora) dan Pocilloporidae (Pocillopora) serta beberapa koloni dari suku Faviidae. Umumnya bentuk pertumbuhan karang daerah ini didominasi oleh karang-karang encrusting (merayap), karang submassive dan karang berbentuk meja (Acropora tabulate), tetapi ada juga yang berbentuk foliose (daun) dan bercabang yang tersebar sampai didasar perairan.
Di daerah ini juga terlihat beberapa genus karang seperti Plerogyra, Montipora, Pocillopora, Acropora, Stylophora, Seriatopora, Lobophyllia, Millepora, Fungia dan Favia. Namun ada juga beberapa jenis lainnya akan tetapi sulit untuk diidentifikasi karena koloni karangnya yang masih kecil.
- Persentase Tutupan Karang Batu
Pada tabel 1 gambar 2 terlihat kisaran persentase tutupan karang batu adalah 24,08 – 43,8 %. Persentase tutupan karang batu tertinggi pada stasiun 2 (52,48 %) sedangkan stasiun 1 sebesar 43,8 % dan stasiun 3 sebesar 24,08 %.
Tabel 1. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik Penyusun Daerah Terumbu Karang Kawasan Mega Mas Berdasarkan Life Form Report.
Komponen Terumbu Karang Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Komponen Biotik
Karang Batu 43,8 52,48 24,08
Alga 1,08 2,48 0,16
Karang Lunak 0 0 0
Sponge 0,24 0 0
Fauna Lain 2,72 0 1,24
Jumlah 47,84 54,96 25,48
Komponen Abiotik
Karang Mati dan Karang Mati Alga 3,32 0,68 0,48
Batu, pasir, lumpur, air, kerikil 48,84 44,36 74,04
Jumlah
52,16 45,04 74,52
Gambar 1. Histogram Persentase Tutupan Karang Batu di Kawasan Mega Mas
Untuk stasiun 1, persentase tutupan bentuk pertumbuhan karang batu dari yang paling tinggi adalah Acropora branching (14,68 %), karang submassive (12,40 %), Karang encrusting (8,56 %), Acropora tabulate (6,64 %), Acropora digitate (1,32 %) dan karang massive (0,20 %). Untuk stasiun 2, persentase tutupan bentuk pertumbuhan karag batu dari yang paling tinggi adalah Acropora tabulate (26,40 %), Karang encrusting (17,28 %), Acropora branching (6,40 %), karang bercabang (0,60 %), karang massive (0,52 %), mushroom coral (0,40 %), karang submassive (0,36 %), Acropora digitate (0,28 %) dan karang foliose (0,24 %). Untuk stasiun 3, persentase tutupan bentuk pertumbuhan karang batu dari yang paling tinggi adalah karang encrusting (10,80 %), karang submassive (5,52 %), Acropora branching (4,44 %), Acropora tabulate (1,36 %), Acropora digitate (0,92 %), karang bercabang (0,52 %), karang foliose (0,40 %) dan karang massive (0,12 %).
Yap dan Gomez (1984) dalam Lalamentik (1991) mengkategorikan terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup sebagai berikut: Sangat baik (75-100 %), baik (50-74,9 %), cukup (25-49,9 %) dan buruk (0-24,9 %). Berdasarkan kategori persentase tutupan karang batu yang dikemukakan oleh Yap dan Gomez dalam Lalamentik (1991) maka kondisi terumbu karang stasiun 1 berada pada kategori “cukup”, stasiun 2 berada pada kategori “baik” dan stasiun 3 berada pada kategori “buruk”. Secara umum persentase tutupan karang batu kawasan reklamasi Mega Mas sebesar 40,12 % dan berada pada kategori “cukup”. Buruknya terumbu karang di stasiun 3 lebih dikarenakan koloni karang batu belum banyak yang mendiami daerah ini. Selain itu juga hal ini dimungkinkan terjadi karena letaknya yang sangat dekat dengan muara sungai sehingga sedimentasi dan salinitas perairan berpengaruh terhadap pembentukan koloni karang batu. Kematian karang batu untuk daerah ini masih relatif kecil dimana untuk stasiun 1 hanya 3,32 %; stasiun 2 sebesar 0,68 % dan stasiun 3 sebesar 0,48 %. Faktor lain yang juga menunjang pertumbuhan karang batu di daerah ini adalah keadaan perairannya yang relatif tenang (kecuali musim angin barat) karena berada di dalam teluk Manado sehingga gempuran ombak relatif kecil.
- Indeks Keanekaragaman Karang Batu
Dari gambar 3 terlihat bahwa indeks keanekaragaman dari karang batu kawasan Mega Mas yang rata-rata dibawah 0,75 menunjukkan kurangnya keanekaragaman karang batu di daerah ini. Stodart dan Johnson dalam Sutarna (1991) menyatakan bahwa terumbu karang yang mempunyai indeks keanekaragaman karang batu 0,5 – 0,75 tergolong cukup produktif; 0,75 – 1,00 tergolong produktif dan lebih besar dari 1,00 tergolong sangat produkti. Sehingga dapat dikatakan bahwa karang batu kawasan Mega Mas masuk pada kategori “cukup produktif”. Dari ketiga stasiun penelitian, keanekaragaman karang batu paling tinggi pada stasiun 1 dan terendah di stasiun 2.
Gambar 2. Indeks Keanekaragaman Karang Batu
- Indeks Kepadatan Relatif Karang Batu
Tabel 2. Indeks Kepadatan Relatif Karang Batu
No Bentuk Pertumbuhan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1. ACB 20,12 16,05 23,61
2. ACT 9,15 28,40 4,17
3. ACE 0 0 0
4. ACS 0 0 0
5. ACD 20,12 1,23 4,17
6. CB 0 2,47 4,17
7. CM 3,05 3,70 1,39
8. CE 26,83 41,98 38,89
9. CS 20,73 2,47 22,22
10. CF 0 1,23 1,39
11. CMR 0 2,47 0
12. CME 0 0 0
13. CHL 0 0 0
KR (%) 16,67 11,11 12,50
Kepadatan relatif karang batu kawasan Mega Mas seperti yang terlihat pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kepadatan relatif karang batu di stasiun 1 lebih tinggi dari stasiun 2 dan 3. Secara keseluruhan di ketiga stasiun kepadatan relatif karang encrusting lebih tinggi dari yang lain, kemudian diikuti oleh jenis-jenis Acropora dan selanjutnya karang sub massive. Kenyataan di lapangan memang memperlihatkan banyaknya karang yang bentuk pertumbuhan encrusting dari berbagai genus karang, selain dari yang berbentuk tabulate dan bercabang. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah ini cocok bagi planula-planula karang dalam mencari ruang untuk bertumbuh.
- Rata-Rata Panjang Koloni Karang Batu
Tabel 3. Rata-Rata Panjang Koloni Karang Batu
No Bentuk Pertumbuhan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1. ACB 11,12 12,31 6,53
2. ACT 11,07 28,70 11,33
3. ACE 0 0 0
4. ACS 0 0 0
5. ACD 11,00 7,00 7,67
6. CB 0 7,50 4,33
7. CM 5,00 4,33 3,00
8. CE 4,86 12,71 9,64
9. CS 9,12 4,50 8,63
10. CF 0 6,00 10,00
11. CMR 0 5,00 0
12. CME 0 0 0
13. CHL 0 0 0
KR (%) 8,69 9,78 7,64
Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata panjang koloni karang batu di kawasan Mega Mas yang paling tinggi pada stasiun 2 (9,78 cm) dan terendah di stasiun 3 (7,64 cm). Jenis Acropora merupakan karang yang rata-rata panjang koloninya paling besar di ketiga stasiun penelitian yang kemudian diikuti oleh karang-karang encrusting dan submassive. Rata-rata panjang koloni karang massive di ketiga stasiun paling kecil, terutama pada stasiun 3. Hal ini disebabkan oleh karena laju pertumbuhan karang massive yang pada umumnya lebih lambat dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan jenis Acropora merupakan karang yang laju pertumbuhannya paling cepat di antara berbagai jenis karang yang ada.
- Indeks Kematian Karang Batu
Indeks kematian karang batu di kawasan Mega Mas yang diperlihatkan pada gambar 4 menunjukkan bahwa kematian karang sangat kecil. Hal ini menggambarkan bahwa perairan di daerah ini sangat cocok bagi pertumbuhan karang batu.
Indeks kematian karang batu paling tinggi pada stasiun 1 dan paling rendah pada stasiun 2. Akan tetapi jika tidak segera dilakukan tindakan perlindungan dikhawatirkan karang yang berada di daerah tersebut yang fungsi utamanya sebagai penahan gelombang akan mengalami kerusakkan. Hal ini diakibatkan oleh mulainya beberapa kelompok nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan “soma” dampar. Selain itu juga banyaknya sampah plastik yang berada dipermukaan beberapa koloni karang.
Tipe-tipe sampah yang umum dijumpai adalah karung, berbagai jenis tas plastik, kaleng dan bekas-bekas tali pancing.
Gambar 3. Histogram Indeks Kematian Karang Batu
Kesimpulan
1. Persentase tutupan karang batu kawasan mega mas sebesar 40,12 % dan masuk pada kategori cukup. Persentase tutupan karang batu stasiun 1 paling tinggi adalah Acropora branching (14,68 %), stasiun 2 adalah Acropora tabulate 24,60 % dan stasiun 3 adalah karang encrusting (10,80 %).
2. Indeks keragaman karang batu kawasan mega mas kurang dari 0,75 , sehingga keragaman karang batu di daerah ini masuk pada kategori cukup produktif.
3. Kepadatan relatif karang encrusting lebih tinggi dan kemudian diikuti karang jenis Acropora dan sub massive.
4. Karang dari genus Acopora merupakan karang dengan rata-rata panjang koloni paling tinggi, kemudian diikuti oleh karang encrusting dan sub massive.
5. Kematian karang batu di daerah ini sangat kecil.
Pustaka
Ditlev, H., 1980. A Field-Guided to The Reef Building Coral of The Indo-Pacigic. Dr. W. Bakhuys Publisher. Rotterdam.
Lalamentik, L.Th.X., 1991. Karang dan Terumbu Karang. Laporan Fakultas Perikanan UNSRAT. Manado. 66 hal.
Lane, D.J.W., 1986. Growth of Scleractinians Coral on Sediment-Stressed Reefs at Singapore. Department of Zoology. National University of Singapore.
Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta. 457 hal.
Roeroe, K.A., 1995. Telaah Kondisi Ekologi Terumbu Karang Di Perairan Pantai Utara Minahasa, Sulawesi Utara. Skripsi Fakultas Perikanan. Universitas Sam Ratulangi. Manado. 45 hal.
Soekarno, R., 1994. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah Pengelolaannya. Dalam Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang di Manado tahun 1995.
Sutarna, I. N., 1991. Kondisi dan Produktifitas Karang Batu di Tanjung Selatan Pulau Ambon. Perairan Maluku dan Sekitarnya. BPPSL-P3O LIPI. Ambon.
Langganan:
Komentar (Atom)